Semenjak hari itu aku semakin membencinya entah karena
apa. Semakin hari aku merasakan perasaan di mana aku tak ingin bertemu
dengannya, entah sengaja atau tidak. Dia membuat emosiku tak terkendali waktu
itu. Aku tahu, bukan sepenuhnya dia. Bukan dia saja yang menjengkelkan. Ada
orang lain pula di balik itu semua. Tetapi,
aku harus membencinya. Titik!
aku harus membencinya. Titik!
Alasan yang tak masuk akal mungkin. Aku sendiri pernah
bertanya pada diriku, benarkah? Yang
kuyakini mengatakan iya. Iya untuk tak mau bersinggungan dengan nama itu. Ya ampun. Hingga benar-benar ada sekat
di antara kami. Ya! Seharusnya memang ada gap,
huh. Sisi burukku berdalih bahwa dia akan menjadi musuhku, dan pantang
bagiku untuk sampai berinteraksi dengannya. Haha.
Namun, kautahu, sisi baikku dengan amat bijaknya berkata, “Ayolah, memaafkan
lebih baik daripada memendamnya menjadi benci. Yang lalu biarlah berlalu.” Hoaaaaammm. Aku sudah berkali-kali tahu,
dengar, bahkan paham dengan kata-kata ini. Mana yang kudu aku dengar dan ambil tindakannya?
Rasanya ingin lari. Sejauh mungkin agar aku tak bertemu
di sini, tempat di mana kami memungkinkan untuk bertemu. Ya, walaupun tak
mungkin juga akan ada sebuah percakapan. Tetapi kautahu sendiri kan melihatnya saja aku.. aku, tak suka.
Coba bayangkan, bagaimana kautak jengkel ketika semua tanda-tanda positif dari
keinginan yang telah kumimpikan dan sangat kuharapkan telah nampak diberikan
padaku akhirnya hanya omong kosong belaka. Bohong. Betapa menyakitkan.
Nama itu. Coba kaupikir jika kauada di posisiku.
Melakukan apa yang sebaiknya dilakukan untuk hasil yang baik pula. Ingat!
Kaubilang seperti itu. So it means, if I
have done it, you would give the best one. Is it? Oh ayolah, am I wrong to interpret every sign you give?
Damn it. Mungkin aku tolol mengartikannya. Haha. Aku memang tak ada yang bisa diberikan kecuali aku harus
belajar terlebih dahulu untuk bisa melakukannya. Aku sadar I’m lack of skills. I see that honestly. So what?
Dreams are still dreams. Tangisanku
tak menghentikan mimpi-mimpi itu. Mimpi di mana ketika aku masih berseragam.
Untuk berjuang mengubah “aku” menjadi “aku yang lain.” Aku yang bisa bergabung
bersama kehidupan yang benar-benar hidup. Tapi apa sekarang? Aku belum
memulainya. Aku masih sama. Sedikit saja yang berubah, dan kepuasan itu belum
ada apa-apanya dari apa yang telah kuimpikan. Haruskah kumenyalahkannya? Not really.
Nama itu. Jika kaumengerti kenapa aku sangat membencimu,
entah kauakan menganggapku seperti apa lagi. Jika kautahu apa-apa yang telah
kuperjuangkan untuk memulainya, entah bagaimana kaumeresponnya. Jika kautahu
penyesalan yang terjadi di akhir, entah mungkin kauakan sangat menyesal. I give it a special place to be chosen of my
choices I have then, but what?
Ignored. Setelah itu,
aku paham mengapa aku masih terus membenci nama itu. Aku puas mendengarnya. Aku
mengerti kenapa. Aku kan mencoba melupakannya. Aku akan mencoba melontarkan
maaf untuknya. Tidak sekarang, tapi nanti. Ketika aku benar-benar bisa. Pernah
terbesit kuakan beri beberapa proof. Tapi
hatiku menepis, for what.
Sekarang, warna putih itu perlahan mengubah hitam menjadi
agak keabu-abuan. Diharap akan menjadi putih sejati. Semoga. Walaupun
sebenarnya, menemui nama itu di mana-mana membuat ingatanku kembali. Hanya
nama. Seperti hidupku di mana-mana ada namanya. It’s annoyed, really. Bisakah namamu itu diganti? Agar tak kutemui
nama-nama lain yang ketika kutemui berujungnya di ingatan tentang kegagalan.
Pergilah!
0 comments:
Post a Comment