Ketika kusedang mencari di mana sebuah
kedamaian dapat diraih, dan aku dapat berdiam dalam setiap malam, namun aku
belum bisa berjalan terus di atasnya. Celakanya aku masih terbuai betapa sang
malam menggoda setiap detik berharga itu. Jangankan melewatinya dengan hati
yang terima, memantapkan ini-itu pun masih di atas keraguan. Mungkin makhluk
yang dikutuk oleh Allah ini benar pandai adanya menjalankan tugas,
sampai-sampai
orang sepertiku—dan mereka yang tersesat sepertiku—membuntutinya. Bukankah kita tahu bahwa Allah sudah memberikan ilmu kepada kita tentang hal-hal shohih? Mengapa masih saja ada alasan untuk menolak kebenaran itu?
orang sepertiku—dan mereka yang tersesat sepertiku—membuntutinya. Bukankah kita tahu bahwa Allah sudah memberikan ilmu kepada kita tentang hal-hal shohih? Mengapa masih saja ada alasan untuk menolak kebenaran itu?
Malam itu tidaklah benar jika aku
bilang bahwa aku kesepian, tidak ada teman, tidak ada hal yang dapat
kukerjakan. Itu salah! Kukira suara itu mencekik pahamku, kenapa tidak kauambil air di sana, mengalirkannya di bagian wudhumu,
lalu menggunakan indera yang telah diberikan Allah untuk melafadhkan
ayat-ayatnya? Ya, aku mendengar seruannya. Tetapi lagi-lagi makhluk
itu—masih saja dia yang tak terlihat—menyambar jalan pikiranku untuk menolak.
Bagaimana bisa kuterpenjara dalam tipu dayanya? Padahal Dia selalu
mengingatkanku dengan perantara-Nya. Apakah aku sudah menjadi orang fasik dalam
hal ini? Aku tahu, tetapi aku enggan melaju, menyiapkan diri untuk menjalankan
apa yang seharusnya dijalankan. Inikah aku? Fasik?
Malam itu sebuah percakapan menjadi
awal dari kesiapanku untuk mengubah segalanya menjadi lebih baik. Suasana
hikmat telah Allah berikan di sana. Kemuliaan-Nya terangkai indah dalam susunan
ceritanya. Aku mendengarkan, kadang mengangguk. Sekalipun aku telah
mendengarnya berkali-kali, anggukan ini kuberikan lagi.
“Kita sudah tahu kan mahkota mana saja yang sangat berharga di diri setiap akhwat,” ujar dia sembari matanya begitu
lekat menatapku. Kutebak dia akan melayangkan pertanyaan yang saat ini singgah
di otakku. Aku tahu itu. “Hmm, ya tentu saja,” jawabku singkat.
“Ceritaku tak lain hanyalah cerita
biasa. Jika kau memintaku untuk menceritakannya, resapilah hal-hal positif yang
dapat kauambil.” Dia semakin membuatku penasaran. Ah, kenapa tak langsung saja
dia bercerita?
Kutelan ludahku. Kufokuskan
pandanganku. Ah lebay. “Banyak hal
yang didapat dari kejadian yang Allah ciptakan. Dia menyiapkan jalan-Nya untuk
kita. Dan aku menemukan-Nya. Dia hinggap di hati kita. Di pikiran kita. Di setiap
nafas kita. Tidakkah kaurasa?”
Aku masih terdiam. Dalam hati terasa
ingin kukatakan, itukah yang ingin
kauceritakan? Mungkin lebih dari itu. Baiklah, terpasang sudah telinga ini,
juga mata ini. Lekat-lekat kulihat senyum di bibirnya. Allah sangat sempurna
menciptakan senyum itu di wajahnya yang berseri. Kakakku, kakak yang kukenal di
perantauan ini. Tahukah? Dia begitu cantik dengan balutan kain yang melekat di
tubuhnya, tak ketat, malah lebih longgar. Jilbabnya menjuntai sampai menutupi
dadanya. Lengkap semuanya hingga terlihat wajahnya-lah yang subhanallah Allah Mahapencipta yang
Agung.
Tetap, malam itu menjadi awal.
Menjadikanku orang yang tahu. Ada gerakan di hati untuk berubah. Tapi apa daya,
masih sama. Belum ada tekad yang kuat hingga lelaki itulah yang membuatku yakin
untuk pelan-pelan berubah. Akhwat yang
lebih baik.
Astaghfirullahal’adziim. Hanya karena dia kah alasanku? Orang
yang baru saja singgah sejenak di hatiku? Bukankah seharusnya Allah-lah yang
tinggal di hatiku? Bukan dia, bukan siapa-siapa. Inilah gejolak di hatiku. Dan
aku harus meluruskan semua ini. Hingga niatku mantap lillahi ta’ala.
“Gaya bener sekarang jilbabmu kek gitu? Kamu mau niru-niru Mbak Kiki?”
Jleb! Apa makna kalimat ini? Apakah sahabatku ini sedang memujiku karena aku
seperti ini? Apa dia sedang mengejekku dan dia tidak suka aku seperti ini? Aku
hanya tersenyum. Diam bukan berarti aku tak punya alasan. Masih tersimpan.
Jawabannya masih belum kutemukan. Masih ada ragu dalam hati kecilku, padahal
sudah jelas aku telah mengubahnya. Apa lagi?
Bismillahirahmaanirrahiim. Sesungguhnya aku telah menjadi orang
fasik dahulu kala. Ketika aku masih merasakan kata-kata indah melewati jalan
hidupku. Aku mampu mendengarkan perkara yang shohih dari orang-orang yang berilmu. Dan kini, kedua kalinya
kudisuguhi ilmu Allah. Masihkah aku mau menjadi orang fasik? Tidak. Pastinya
aku tidak mau. Lalu, setelah semuanya jelas, apa lagi yang masih kuragukan? Istiqamah. Hal terberat dan insyaAllah akan menjadi mudah.
Pernah hatiku berbisik, “emangnya kamu
udah siap untuk istiqamah?” Mendengar pertanyaan ini seolah menyeret nyaliku
sejenak. Ketakutanku menjadi-jadi. Dan diam.
Percaya bahwa kebaikan akan datang
kepadaku jika niat sudah dimantapkan oleh Allah. Saat inilah waktu yang tepat
untuk menerimanya—keagungan Allah yang tak bisa kupungkiri. Ya Allah, kan
kujaga fitrahku sebagai perempuan. Kan kuperbaiki jiwa ini untuk menggapai
ridha-Mu di dunia dan akhirat.
***
Aku masih ingat tentang buku yang
pernah aku baca. Perempuan Pencari Tuhan dipinjamkan
kepadaku. Kuniatkan untuk memetik ilmunya. Subhanallah
alangkah indahnya hati jika di dalamnya selalu ada nama Allah. Alangkah
beruntungnya hati jika tidak pernah berkawan keburukan yang hanya akan membuat
hati kita kotor. Selalu berperasangka yang baik. Hal ini yang bergejolak. Di
dalam setiap malam kuresapi, kubertanya kepada Allah, dan inilah jawabnya.
“Bismillah.
Untuk orang yang pernah aku dzolimi, baik perkataan dan perbuatan, wallahi aku meminta maaf atas segalanya
yang pernah kuperbuat. Dengan ikhlas semoga kalian memaafkan. Insya Allah..”
Jujur. Satu kata yang sulit saat ini
bagiku. Bagaimana kuharus melakukannya? Mengungkapkan keburukanku. Memohon
untuk dimaafkan. Dan mau tidak mau harus dikatakan. Sungguh, aku tidak ingin
hatiku keruh oleh kedzoliman yang Allah benci. Astaghfirullahal’adziim. Maka dari itu, masih di malam yang sama,
kuambil keputusan untuk menjernihkan hati. Ya, dengan maaf. Berharap tidak ada
lagi keburukan menyuruhku, kalaupun masih ada, Allah ingatkan aku.
Di pagi hari ketika fajar sudah tak
terlihat, hanya tinggal mentari yang siap mengawali hari, senyum kukembangkan
meski tak sejalan dengan hati. Tidak mungkin kan menghadapi murid-muridku dengan wajah yang murung. Ya, semua
diniati karena Allah. Mungkin tadi Dia sedang mengujiku. Tapi benar. Ini bukan
sandiwara yang dibuat-buat. Seperti mendapati petir aku bergemuruh bersama
kristal bening yang telah tergambar jelas di wajahku. Sudah kubilang, aku tak
sanggup mendengar suaranya. Suara gagahnya yang dulu tak kudengar sekarang,
saat itu. Hanya ada harapan di setiap kalimatnya, dan aku hanya menahan hening
dalam doa yang tak kuucapkan. Ya Allah, jika memang ini takdir-Mu, aku ikhlas.
Jagalah dia, berikan dia kesehatan ya Allah. Alirkan rezeki halal-Mu.
Sesungguhnya tiada lain tempatku meminta selain Engkau, Allah.
Di hari yang sama, entah Allah sedang
ingin bersama-sama denganku ataukah dia sedang mencubitku sesaat, nyanyiannya
didendangkan indah oleh mulutku sendiri. Tanpa paksaan. Bahkan tak sanggup jiwa
ini tenang. Isakan demi isakan, tangisan demi tangisan. Aku butuh pelukan-Mu
Allah. Hina-lah diriku yang hanya mencari-Mu ketika kubutuh. Hina-lah aku hanya
datang ketika cobaan menggadaikan semangatku. Aku hina, dan tak peduli. Hanya
Engkau-lah yang saat ini kucari. Dekaplah aku, tinggallah dalam hatiku hingga
jiwaku tenang. Sampai nafas milik-Mu ini kembali. Allahu ya Allah.
Hingga saat ini kumulai berusaha
istiqamah menjalankan keputusan ini. Namun, begitu sulitnya bagiku mencapai
sepertiga malam yang sempurna. Sulitnya menghadapi mereka untuk penyesuaian.
Dunia. Seperti menghalangi. Tapi insya
Allah. Allah pasti menolong dan memberi jalan terbaik bagi hamba-Nya.
Mungkin dalam hati masih ada kebimbangan, tetapi Dia telah menjamin. Tinggallah
aku yang menjalaninya. Insya Allah..
Tentang makhluk yang dikutuk Allah, aku
tak lagi mau berurusan dengannya. Biarkan dia menggodaku, dan biarkan dia
meracuniku. Aku percaya Allah ‘kan menjagaku.
Ya Allah, terimalah salam rinduku ini.
Hamba tersesat. Hamba tak membalas kasih cinta-Mu yang suci. Hamba tak
memberi-Mu ruang dalam hati, malah penyakit-penyakit kotor mendiami. Ya Allah, sungguh hamba mengetahui hakikat sebagai
perempuan, insya Allah aku akan
menjaganya, terutama atas pertolongan dari-Mu. Ya Allah, bersihkan hati hamba
yang saat ini kotor oleh kedzoliman yang hamba perbuat. Sucikan dengan
ikhlasnya kata maaf. Bertamulah ke dalam hati hamba ya Allah. Kan kujamu
Engkau, Allah dengan sebaik-baik hamba kepada-Mu Tuhan Pencipta. Kumohon jangan
pergi. Menginaplah di sini, tinggallah di sini. Jika hamba belum bisa memberi
suguhan yang belum memuaskan-Mu ya Allah, katakan padaku. Tegurlah aku.
Marahlah padaku. Ingatkan aku. Kan kuperbaiki diri ini, jiwa ini, hati ini,
hingga Engkau tetap tinggal di sini, di hati hamba. Ya Allah, jangan jauhiku.
Engkau, ya Allah, pemilik nafas ini. Hamba merindukan-Mu, hamba mencintai-Mu.
Terimalah salam rinduku, ya Allah. (*)
0 comments:
Post a Comment