---
Sembunyikan aku. Aku tak mau memaksamu untuk mengerti rasaku.
---
Sembunyikan aku. Aku tak mau memaksamu untuk mengerti rasaku.
---
Tahukah kamu, memanggil namamu
merupakan kebahagiaan tersendiri dari hatiku?
Tahukah kamu, berpapasan denganmu
merupakan kebetulan yang selalu kuharapkan?
Tahukah kamu, mendengarmu menjawab
sapaanku merupakan nyanyian terindah dari apapun?
Tahukah kamu, melihatmu tersenyum
padaku merupakan kebanggaan tersendiri?
Katakan aku bukan
merayumu, aku bukan
alayers, aku tidak bermaksud mencuri hatimu, tetapi aku hanya memujimu. Kumohon jangan benci dengan tingkahku...
alayers, aku tidak bermaksud mencuri hatimu, tetapi aku hanya memujimu. Kumohon jangan benci dengan tingkahku...
Kamu harus tahu,
memujimu adalah tanda bahwa ada banyak keistimewaan di dalam jiwamu. Kepribadianmu
yang ramah, murah senyum, baik hati, dan agamis tak bosan-bosannya kuucapkan. Tak
bosan aku curahkan dalam paragraf yang selalu menemani malamku. Tak bosan aku
memasukkan diksi namamu di dalam bait puisiku. Tak bosannya kusebut namamu
dalam daftar doaku. Jangan benci aku.
Kamu juga harus tahu,
aku selalu berharap bahwa sapaan dan senyuman itu datang dari hatimu sesekali. Mulailah
dari dirimu. Aku ingin kamu yang menyapaku lalu aku menjawab sapaanmu. Aku
ingin kamu tersenyum padaku lalu aku membalas senyumanmu. Mudah bukan? Bagiku mudah
mengatakan ini semua, namun mungkin hatimu akan sulit menerima.
Dulu aku pernah
berkata dalam hati, bahwa rasaku tak muluk-muluk untuk diterima. Aku hanya
ingin rasaku dihargai. Memberiku sapaan dan senyuman adalah lebih dari cukup
karena rasanya saja lebih berarti, namun hal ini hanyalah keinginan yang hanya
sebatas keinginan. Kapan kamu akan menyapaku duluan? Aku selalu menantimu. Berjanjilah.
Seperti mendapat
malam yang sangat kelam dalam hidupku, aku menghentikan usahaku.
Ketahuilah, ada hari
puncak di mana aku memahami rasamu yang sebenarnya. Aku baru membaca ini semua
dengan perasaan sesal. Aku telah menyadari bagaimana menjadi kamu dan betapa
bodohnya aku yang berdiam diri merasa bahagia menikmati indahnya merasa dan aku
tak pernah pikirkan bagaimana denganmu? Lewat keinginan aku selalu memaksamu
untuk mengerti rasaku.
Kumohon dengarkan
aku, dengarkan aku yang baru saja belajar tentangmu, dan jangan berhenti
membaca baitku sampai di sini...
Ketika
kumemanggilmu, aku tahu senyummu menyembunyikan perasaan yang menurutku itu
siluet kepedihan. Kamu malu menerima semua yang terjadi apalagi bila bersama
temanmu, bukankah kamu tambah dipermainkan oleh mereka karena ada aku yang
mengusikmu? Seakan kamu ingin tak ada lagi pertemuan denganku agar terhindar
dari rasa yang mencekik. Kamu ingin bebas, bahkan bila boleh memilih, kamu
menginginkan hal ini bukanlah aku yang melakukan, namun gadis yang kamu sukai.
Bukankah begitu? Berpikir sejenak, kenapa harus aku? Apakah itu yang ada di
pikiranmu? Kumohon jangan benci aku, aku hanya merasakan seperti ini.
Lagi, ketika kamu
melayangkan senyuman, aku tahu kamu ikhlas memberinya namun sekali lagi, kenapa
harus aku, bukan? Kenapa gadis yang menggilaimu adalah aku? Kenapa gadis yang
selalu bahagia histeris tatkala melihatmu adalah aku? Kenapa aku yang
mengganggu hidupmu dengan segala kekonyolan, keinginan yang gila, dengan
tingkah yang berlebihan seperti aku? Kenapa bukan gadis yang kamu sukai saja
yang membuatmu tersenyum dengan tingkah yang mungkin akan sama denganku?
Kumohon maafkan aku. Mungkin
aku terlalu cengeng menyadari ini semua. Mungkin aku terlalu bodoh memandang
diri yang tak pantas ada di setiap ceritamu. Kumohon maafkan aku... Maafkan aku
yang berpikiran seperti ini... Maafkan aku yang pernah mengusik tenterammu... Maafkan
aku yang telah tanpa izin masuk dalam kehidupanmu... Dan maafkan aku yang
pernah menyukaimu...
---
You're my kind of perfect...
You're my kind of perfect...
---
Menanti pagi terus
terulang. Berkawan senyap aku berdiam diri. Matahari yang kuharap masih enggan
memamerkan sosoknya, sedang aku ingin dia cepat menyambut hariku agar hari baru
tercipta dengan hikmat.
Sehari, tak mau
menyesali hari kemarin membuatku enggan beranjak dari tempat. Biarkan dulu
alunan nada berisik yang mengganggu. Biarkan pandangan kosong yang menjurus. Tentu
saja biarkan mulut ini tertutup untuk menikmati damainya ketenangan jiwa.
Kukira proses ini
akan berhasil. Aku bahkan berusaha menghindar darimu. Aku tak mau menyapamu
ataupun tersenyum padamu. Aku telah cukup membuatmu kecewa atau bahkan terusik.
Aku mengerti itu. Jadi, bolehkah aku melakukan ini? Apakah kamu senang bila tak
ada lagi yang mengganggumu atau tak ada lagi candaan dari teman-temanmu tentang
kita? Kuharap kamu menerimanya karena kutahu kamu pasti bahagia. Sudahlah. Aku
jalani semua ini bak berjalan di atas air. Aku akan terus berusaha sampai aku
benar-benar mampu melupakanmu sejenak. Dengan didukung kesibukan yang kualami
saat ini, dengan mudah ini semua terealisasi. Bahkan kamu juga. Bukankah kita
sama-sama sibuk? Maksudku, menjalani saat-saat terakhir memang menguras
pikiran. Setiap hari kita dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang menuntun kita
menuju masa depan. Dalam hati, pasti akan berhasil. Begitulah.
Di samping itu, ada
hal yang membuatku terusik menjalani proses ini. Kamu tahu, aku dihadapkan oleh
setan terkutuk yang menjelma menjadi seseorang yang kukenal. Dia membujukku untuk
berjalan di jalan yang salah. Lindungilah aku. Begitulah ketika sang pemimpin
memaparkan apa tujuannya. Sempat terbujuk, namun aku bersyukur bahwa ada teman
sebangkuku yang mengingatkan. Ini salah. Bukan cara ini satu-satunya. Yakinlah
bahwa percaya diri mendatangkan mukjizat. Bukan hanya keluar dari sekolah namun
diridhoi untuk keluar. Kita akan bangga bercermin. Ini kemampuanku dan bukan
atas bantuan tangan-tangan nakal yang dibenci Tuhan. Sungguh, aku
berterimakasih kepada-Nya. Semoga Tuhan masih melindungi mereka.
Tentu aku percaya,
sangat percaya, bahwa kamu pasti menolaknya. Kamu pasti mengambil jalan benar
itu. Kurasa begitu, bukan? Kuharap kamu mengerti maksudku.
0 comments:
Post a Comment