---
Berusaha sembunyi, namun mata sipitmu terus menangkap hati.
Berusaha sembunyi, namun mata sipitmu terus menangkap hati.
---
Kadang hati harus
menjerit terlebih dahulu untuk menunjukkan ketidaknyamanan dalam merasa. Juga
kadang hati harus menggedor pintunya untuk membuka pikiran jernih. Aku merasa,
aku tidak peduli. Tetapi, apakah dengan ucapan saja mampu membuatku bertindak
lain? Tidak, ucapanku masih terjaga. Kamu tahu, aku seperti di penjara. Alam
ini
memenjarakanku untuk beberapa hari. Aku tahu ini semua keputusanku, namun tak bisa dielak ini sangat menyakitkan untuk terus dilaksanakan. Haruskah aku berhenti? Katakan padaku haruskah aku menghentikan ini semua? Maksudku, aku tak mampu terus sembunyi. Aku ingin kembali. Aku ingin menjadi gadis yang menggilaimu lagi. Setidaknya untuk terakhir kali aku menindas tanah ini. Tidak salah, bukan?
memenjarakanku untuk beberapa hari. Aku tahu ini semua keputusanku, namun tak bisa dielak ini sangat menyakitkan untuk terus dilaksanakan. Haruskah aku berhenti? Katakan padaku haruskah aku menghentikan ini semua? Maksudku, aku tak mampu terus sembunyi. Aku ingin kembali. Aku ingin menjadi gadis yang menggilaimu lagi. Setidaknya untuk terakhir kali aku menindas tanah ini. Tidak salah, bukan?
Namun kuselalu pasti
yakini bahwa hal ini tidak akan berubah dari apa yang kuinginkan. Ya, kamu
tetap saja cuek seperti apa adanya kamu. Kamu tetap dingin dan ya, harus aku
yang menyapamu. Tentu saja aku menerimanya. Bukankah ini resiko menyukai
seorang yang dingin?
Asal kamu tahu, dari
dulu aku selalu menyembunyikan setiap rasa sukaku. Namun di rasamulah aku mampu
mengekspresikannya. Aku bisa tertawa bila mengingatnya. Sangat konyol. Mungkin
seperti yang pernah aku katakan, rasa suka ini hanyalah cinta monyet, tak
lebih. Jadi kamu tidak keberatan, bukan? Kuharap begitu.
Sambutlah aku yang
akan terus menyapamu. Sabarlah bila aku menuntutmu untuk tersenyum padaku. Ini
yang terakhir. Bisakah kamu membuatku terus berkesan dihari akhir aku
berseragam? Mungkinkah itu? Semoga kamu menjalaninya dengan senang hati. Kuharap
begitu.
---
Mengingatmu lagi. Bahkan dari awal, aku mengingatmu pasti.
Mengingatmu lagi. Bahkan dari awal, aku mengingatmu pasti.
---
Ingatkah kamu ketika
awal kita bertemu? Pasti kamu tidak peduli untuk mengingatnya. Namun biarkan
aku yang menceritakannya... Ketika itu, kamu ingat, aku sedang menunggu
koperasi sekolah dibuka. Datangkah kamu yang juga akan mengambil seragam
olahraga. Terkejutnya aku ketika kamu menerima panggilan dari telepon genggammu
yang bernada dering dengan lagu dari band kesukaanku saat itu, ST12, kamu
ingat? Lalu setelah kita sama-sama mendapatkan seragam itu, kita pulang. Kamu
sendiri dan aku dengan temanku. Karena orangtua kami saling mengobrol, kami
menunggunya di mushola. Sungguh aku tak pernah menduga terhadap kamu yang
sangat berbeda. Apa kamu tahu, pikiran apa yang terlintas ketika kamu akan
pulang saat itu? "Hebat. Kamu naik sepeda tua tapi kamu tidak merasa malu?
Biasanya sih cowok itu gengsi-an.
Kamu tidak. Siapa sih namamu? Sumpah penasaran" Seperti itulah gemuruh
tanyaku. Sudah ingat? Atau mungkin kamu tidak tahu bahwa orang itu adalah aku? Apa
peduliku, ya?
Well, selanjutnya,
ingatkah kamu ketika aku pernah mengurangi nominal pulsamu saat belajar membaca
Al-Qur'an? Social network hingga saat
ini masih merajai kaum remaja. Facebook,
twitter, skype, tumblr, dan lain-lain pasti diborong oleh kita-kita. Tetapi
jika kamu ingat waktu itu, aku sangat menyesal meminjam ponselmu hanya untuk
membuka account facebook-ku dan menambahkan
kamu sebagai temanku. Walaupun senyummu menunjukkan keikhlasan, apa mungkin
lantas menunjukkan bahwa kamu berkata tidak apa-apa? Hanya kamu yang tahu. Jadi,
apa kamu masih ingat? Apa mungkin kamu sudah lupa? Apa peduliku, ya?
Kamu,
sebenarnya ada banyak ingatan yang tertanam, namun tidak mungkin bukan bila aku
harus menulisnya? Percayalah bahwa tidak ada untungnya aku bercerita. Aku tahu
kamu tak peduli, aku tahu kamu tak mengingatnya, atau mungkin kamu
mengabaikannya. Pikiranku melayang jauh seperti itu namun, aku selalu berharap
aku salah dalam menulis. Maafkan aku, sesungguhnya aku bukan penganalisa yang
tepat. Aku sadari itu. Jadi, sudah ingatkah kamu?
0 comments:
Post a Comment