Ini juga re-post :) Masih alay bet sumpah hoho
----
Aku paksa penat ini keluar dari benakku. Perasaan mengganjal yang selalu saja mengganggu malam indahku. Mengepung kenangan yang pernah kuukir waktu itu. Waktu, saat senja mengambil cahaya terang duniaku. Cucuran keringat membasahi pelipisku. Aku takut, aku takut akan mimpi itu. Mimpi yang terus menghantui dan perlahan membuat bulir bening
jatuh ke bumi.
jatuh ke bumi.
"Butuh tissue?" tawar Rama, teman sekelasku. Aku menangguk. Rama berdeham, "Bukankah Aisha yang kukenal adalah gadis yang ceria?" tanyanya terus menyelidiki wajahku seakan dia ingin membunuhku dengan tatapan matanya. "Bukankah Rama yang kukenal adalah cowok yang cuek, sok pintar, dan masa bodo? Kamu beda hari ini?" aku tersenyum, menatapnya yang juga ikut tersenyum karenaku. Dia kembali serius menangkap mukaku, "hey bukankah Aisha itu tidak suka berteman dengan Rama? Katanya sih, Rama itu cuek, sok pintar, dan masa bodo? Kamu beda hari ini? Malah mau menerima tissue?" Aku kembali tersenyum geli, "nih aku kembalikan! weeeekk....." Kulempar tissue itu dengan rasa jijik, lalu enyah dari hadapan Rama. Aku masih tidak berhenti tersenyum. Mukaku padam, entahlah.
Langkahku terhenti. Ternyata Rama mengejarku. Oh Tuhan, dia kenapa sih hari ini? Aneh, pikirku dalam hati. Dia meraih tanganku, menatapku tajam. "Maafkan aku, aku tadi bercanda kok" kata Rama penuh harap. Sungguh, aku dibuat bingung olehnya. Rama, bukan seperti Rama. Anak ini gila atau apa, aku tak tahu.
"Please Rama Karisma Adi Widjaya, aduh gimana ya, kamu itu hari ini aneh" kulepas genggaman tangannya. "Tunggu tunggu, jangan-jangan ada setan yang ngerasuki kamu, atau, oh tidak bukan, mungkin ada malaikat datang lalu bilang sama kamu, Rama, umur kamu gak lama lagi, besok kamu akan mati, gitu ya Ram?" jelasku dengan nada sedikit menghantui. Namun tiba-tiba Rama terdiam dan seketika menghilangkan pandangan matanya. Deg! Kenapa lagi sih dia, gumamku.
“Semburat tawa terangkai dalam harian kehidupan. Aku membungkam untuk keadaan di mana rasaku dicekik oleh masa. Perih dan menyakitkan. Goresan luka masih membekas dan aku takkan lupa”
Menatap matanya lagi, merasakan suasana seperti ini lagi. Deru nafasnya memburu dengan kasar, membisu setelahnya namun mata itu lagi-lagi melumpuhkanku. "Ada perlu apa lagi?" tanyaku kesal. "Dengar Sha, aku ingin mengatakan sesuatu padamu," dengan nafas tersengal Rama mencoba tenang. Aku mendengus, "iya apa? Errrrgghh". Rama mengatur nafasnya. Kulihat mulutnya gelagapan meraih kata,
"Aku...ingin... kamu jadi... pa-carku!" Aku melongo tak percaya, "gila ya kamu, wah bener kamu itu udah stress, semudah itu kamu minta aku jadi pacarmu? Duh, kamu sehat gak sih Rama?" tanyaku geram. "Please, aku suka kamu dari dulu" Aku semakin gila pada Rama. Aku harus apa dan bagaimana. Nyusahin banget sih Rama, paras lumayan keren sih, tapi ini soal hati. Parah. Gerutuku dalam hati.
***
Seminggu berlalu aku rasakan ikatan yang awalnya tak kuinginkan sama sekali dengan Rama. Belum kulihat lagi hal-hal aneh pada Rama seperti yang kuselidiki tempo lalu. Hanya saja, perasaanku sedikit berubah. Entahlah aku mungkin mulai menyukainya. Apa ini yang dinamakan cinta? Apa, bagaimana, dan mengapa?
Lagi-lagi langit sore menyapa. Menggugah nyaliku akan ketakutan. Kutahu senja merenggut sinarku. Senja juga menutup hariku. Senja pula yang membuatku benci kepada Tuhan, menyalahkan-Nya, dan mengutuk-Nya. Aku tak tahu lagi untuk apa ada senja?
Kilatan cahaya berkali-kali mengundang perihku disusul suara menggelegar tanpa permisi mengacaukan gendang telingaku. Takut. Iya, itu saja yang dapat aku ungkapkan. Ah! Rama basah kuyup di depan rumahku. Tuhan, jelaskan padaku.
Kuhampiri dia. Aku khawatir, aku tak tega untuk memarahinya dan aku tenang—sabar—menghadapi Rama. Kulihat matanya meleleh tatkala melihatku. Tuhan, aku semakin bingung. "Coba katakan, apa masalahmu?" tanyaku tak sabaran. "Aku ingin mengucapkan terima kasih sama kamu untuk semua yang udah kamu berikan di hidupku, mulai dari kamu mau jadi pacarku yang kutahu kamu sebenarnya...well belum bisa mencintaiku, kamu juga udah beri aku kasih sayang, kesabaran, senyum ceriamu dan aku nggak mau ini semua cepat berakhir, tapi...." Rama terhenti sejenak. "Tapi apa? Jangan bikin aku takut deh" ucapku takut. "Lupakan. Anggap ucapanku tadi nggak terjadi" aku menyerngitkan dahi. Perlahan kuabaikan apa maksud Rama. Aku tahu, bukankah akhir-akhir ini Rama bersikap seperti itu? Well, aneh maksudku.
Aku atur ulang suasana. Aku bercanda dan tertawa lepas. Aku tak tahu mengapa Rama mudah sekali membuatku nyaman. Seperti ada nyanyian rindu dalam setiap senjaku. Pelukan ini begitu hangat dan nafasnya memburu seiring ketakutan menyerbuku. Sesekali Rama mengelus pundakku dan seperti ada damai menyertaiku.
Aku merengkuh lengan Rama, kutatap matanya yang sayu, bukan, kukira hanya sedikit berbeda.
"Untuk apa ada senja?" Deg! Jantungku seperti berhenti memompa. Pertanyaanku ini tidak menyakiti hati Rama bukan? Pelan-pelan Rama tersenyum padaku, dirinya bak malaikat bersemayam di hari senja burukku. Kumohon, bicaralah. "Untuk berpisah" Aku terkesiap. Melirik tingkahnya yang semakin aneh namun memori itu kembali muncul. Meluapkan amarah yang tak terbendung. "Apa maksudmu hah?" seperti bangun dari khayalnya, Rama mengubah ucapannya. Aku tangkap kata-kata itu. Kata misteri yang aku sendiri tak mengerti. "Maksudku... eh, bukankah senja itu untuk berpisah? emm, maksudku kita berpisah dengan pagi hari, siang hari, iya kan? dan... kita menyambut sore hari dan.... malam hari. Ya, maksudku seperti itu, sayang..." Deg! 'sayang'. Belum ada yang memanggilku dengan kata itu selain ibu dan ayahku. Aku rasa aku senang mendengarnya. "Oh, begitu ya" ujarku singkat. "Apakah kamu benar-benar membenci senja?" tanyanya serius. "Sepertinya..." Jawabku sembari memasang wajah yang menyiratkan tanya ada apa?
"Kuharap kamu mampu melewatinya, ingat, di balik senja ada sesuatu yang indah yang Tuhan ciptakan. Lihatlah langit di sana, jika tidak hujan, semburat warnanya menyebar indah. Jika hujan, kamu tahu? Tuhan menciptakan pelangi di sana. Sungguh, aku ingin melihatnya bersamamu" jelas Rama. "Aku juga Rama, aku mau" kataku dalam hati. "Ingatlah aku di kala senja. Nyanyikan aku lagu rindu bersama senja. Temani aku melihat senja. Tapi kumohon jangan ada air mata. Meski pelangi akan datang tapi aku tak ingin kamulah penyebabnya. I love you, Aisha". Aku mematung. Aku teriris. Hatiku menangis. Aku, aku tak bisa mencerna perkataan Rama. Ini . "Kamu aneh Rama, tapi well, I love you too".
***
Senyumnya, tawanya, kata romantisnya, dan deru nafasnya membuatku bertanya apa yang aku rasakan? Cinta? Tuhan, beritahu aku.
Kacau. Ya, suasana ini kacau. Mondar-mandir tiada henti. Mencari jawaban yang sebenarnya aku sudah tahu. Hanya meyakinkan dan pastinya membuang waktu saja. Kugaruk kepalaku yang tak gatal, hanya, apapun yang kulakukan saat ini membuatku tambah parau. Aku tak perlu menjelaskannya, kan.
Kulihat senja indah memeluk kebahagiaan yang kumiliki saat ini. Warnanya menuntun kata hatiku untuk melepaskan endapan yang semakin menggumpal di hati. Ingat, di balik senja ada sesuatu yang indah. Rama. Dialah senja itu. Aku akan menemuinya dan bernyanyi untuk senja. Kutepati janji itu.
Kujinjing semangatku. Aku bawa cintaku. Aku terlalu bahagia untuk melangkah. Aku tak sabar untuk mengatakan pada Rama bahwa aku memiliki rasa yang sama padanya. Rasa cinta. Tuhan, tenangkan aku.
Rumah itu sudah tepat di hadapanku. Aku yakin Rama akan senang menyapaku dan kuharap dia tidak aneh. Well, sepertinya aku salah lagi. Aku mundur dan berharap ini tidak terjadi. Katakan aku salah rumah. Katakan ini mimpi burukku saat senja. Katakan ini bukan apa yang sebenarnya aku lihat, kan.
Aku tahan air mata ini agar tidak meleleh. Apakah ini sesuatu yang indah di balik senja? Tidak, Rama salah. Ini bukan sesuatu yang indah. Ini hal terburuk dan aku mengalaminya lagi. Tidakkah Tuhan mengerti?
***
Aku hempas ke bumi. Menahan tubuhku yang sedikit goyah. Aku tak sanggup berada di sini. Aku ingin pulang tapi nyatanya aku belum bisa bangkit. Tangisku tak urung merobek atmosfer bumi yang tenang. Memecah keheningan di tempat ini—rumah duka.
Bayangan tiga tahun silam merajai waktuku dan kini kali kedua aku merasakan perih lagi. Tidakkah Tuhan menunggu sebentar? Sungguh. Aku bergeming tentang lika-liku cinta yang menghampiri. Tatkala aku mulai mencintainya tetapi gelap menusuk segalanya. Tatkala aku nyaman akan aroma tubuhnya tetapi bekas itu akan terkubur bersama jiwanya yang takkan pernah hidup lagi. Aku mengutuk diriku. Mencaci perasaanku. Karna aku bodoh akan sentuhan halus kasih sayangnya.
Pelan kuberanjak. Menerpah jajakan arah itu. Menemui pusara yang masih basah karena baru. Tak kulihat lagi payung-payung hitam menyerbu. Mereka lebih enggan bergegas. Namun aku masih setia di sini. Meratapi. Sedikit menengadah, menyapu pandangan yang sedikit tabu tapi aku akan membuatnya senantiasa terbiasa dalam ruangku.
Deretan do'a terangkai indah mengiringi jejak hatiku yang pilu. Menggetarkan dan aku larut akan kedamaian di sampingnya. Rama, dengarkan aku.
Jika cinta kamu jadikan alasan mengapa kamu hadir di kehidupanku, cintailah aku. Cintai aku sepenuh jiwamu. Namun jangan pernah ada alasan mengapa kamu mencintaiku karena kamu tahu, cinta tak membutuhkan alasan! Aku tak ingin ketika alasan itu hilang, cinta itu juga hilang dan aku tahu kamu tak begitu, Rama.
Kini kau tenang. Tidurlah sayang. Tidurlah dengan nyenyak. Jangan bangun sebelum aku datang. Jangan katakan aku berpuisi tapi aku hanya mencoba merajut sedikit kebahagiaan. Bahagia membuatmu tersenyum karenaku.
Lihatlah aku, Rama. Aku takkan pernah menyesal mengenalmu dan mencintaimu. Jiwamu takkan pernah padam karena sebenarnya kehadiranmu menetap di hatiku adalah untuk menguatkan hidupku yang lebih berarti dari dirimu sendiri. Betapa senyum manismu akan selalu kurindukan dalam detik-detik senja indahku. Aku takkan membencinya karena pelangi telah menguak pertanyaan untuk apa ada senja?
Aku berjanji dalam senja, aku akan bernyanyi bersamanya, menjadi gadis yang ceria, karena Aku adalah Aisha. (*)
0 comments:
Post a Comment