Saturday, 1 March 2014

Sembunyikan Aku (The Story of Catching Feeling) #2

Posted by Dear Miss Putri at 5:01 am
---
Gelap menjerumuskanku untuk jatuh. Sedangkan terang menuntunku untuk bangkit.
---
Senja tergantikan malam yang gelap. Gelap yang memilukan tanpa penerangan. Namun aku bersyukur, di rumahku masih ada yang menerangi. Coba saja yang di luar sana?
Jujur, aku takut kegelapan. Aku benci gelap yang datang tiba-tiba. Tidak untuk senja. Senja itu indah. Berkas cahayanya
menyebar. Perpaduannya mengagungkan Tuhan. Dan aku menyukai semua ciptaan-Nya. Kuharap kamu juga di sana.
Nah, di malam yang penuh dengan bintang seperti hari inilah aku menyukainya. Ditambah lagi bulan purnama yang menemani. Bukankah itu adalah suasana yang pas untuk menulis? Apa saja.
Menyiapkan alat tulis, menyiapkan hati dan pikiran, serta teh hangat. Ah, yang satu itu tidak pernah absen dalam ritualku. Teh adalah minuman wajib yang setia menemani. Walaupun aku tahu teh tidak baik untuk sering diminum, tetapi aku menyukainya. Hanya agak janggal saja jika tak ada minuman ini.
Aku mulai meresapi setiap hembus udara yang mengelilingi. Aku memandang lurus sudut ruang lalu kembali fokus ke benda persegi yang punya banyak garis horizontal ini. Ratusan kata bahkan mengalun begitu saja tanpa memikirkan aku yang terbuai malam melelahkan. Kejarlah aku. Kejarlah aku sang waktu. Buat diriku berlutut menimpa bumi dan menurutimu untuk berjaga dalam mimpi.
Lelah berinteraksi dengan diksi, aku tak lantas beranjak dari tempatku. Aku masih memutar otakku untuk mengakhiri kata ini. Dan kudapatkan gelap menjadi terang, jatuh lalu bangkit, dan suka menjadi cinta. Itulah yang kuharapkan dari kamu.
---
Cemburu. Buat aku terbiasa bersamanya.
---
Satu hal yang menepis raguku bahwa sebuah rasa memang kadang mengalun lembut namun terkadang juga keras, mengetuk pintu di relung sana. Aku memiliki itu. Aku memiliki rasa itu. Mengertilah.
Kelas kembali parau. Banyak seruan merdu melafalkan namamu dengan salah satu temanku. Entah hal apa yang membawa mereka serentak berkata "cieeeee" dan aku terhentak. Aku merasakan bara api menyala. Membakar waktuku. Hanya saja aku berusaha berpikir "Kenapa bukan aku? Kenapa harus dia?" Ya, aku hanya tak suka. Aku cemburu.
Oh hell. Apa yang kukatakan? Aku cemburu? Oh ayolah. Kamu tak mengerti apa yang kupendam saat itu. Aku menyadari siapa aku yang beraninya menepis bahwa kamu adalah rasaku. Demi apapun aku salah. Tak seharusnya aku bersikap seperti ini terhadap diriku sendiri. Aku mungkin bisa gila. Huh, lebih baik aku menguncinya. Aku mengunci rasaku yang tak memedulikan bagaimana rasamu. Aku akan terbawa alam dan aku menikmatinya. Aku bernafas bersamamu dan cukup memandang senyummu. Cukup mendengar tawa kecilmu. Cukup menunduk malu untuk bercanda denganmu. Apa lagi aku tak tahu.
Biarkan selama ini rasa terus terkubur. Biarkan tak ada yang mau menggali. Biarkan aku tidak peduli. Aku hanya tersenyum lega bahwa Tuhan memberiku kamu. Mengenalkanku kepada sosok laki-laki yang berbeda. Kamu ramah, murah senyum, dan berhati mulia. Tentu saja taat kepada-Nya.

Well. Sudah kubilang aku tak sanggup bila tidak memujimu. Jangan salahkan aku. Mungkin aku masih menjadi gadis labil yang baru mengenal dan merasakan cinta. Mengertilah.
Nikmatilah. Ini cinta monyet. Selagi menjadi anak Ayah Bunda tak apa.
---
Terkadang kesabaran tak cukup untuk membekali diri dalam menghadapi liku kehidupan. Harus ada keimanan yang cukup kuat. Ukiran-ukiran masa telah mengajari semua apa yang dikehendaki. Walaupun sebagai manusia, rasa suka, benci, marah, senang, dan kecewa adalah yang lazim dimiliki. Hanya tergantung kita yang memaknainya.
Berbicara tentang hidup, tak ada yang mulus. Mungkin aku tak mementingkan perasaan dalam hidupku karena fokus terhadap masa depan adalah yang terpenting. Kamu mempunyai pemikiran yang sama bukan? Aku tahu dari teman sebangkumu. Ya, mungkin aku terlalu lancang bahkan aku terlalu menggilai apa saja tentangmu. Kurasa hal ini cukup wajar untuk usiaku yang akan beranjak 17 tahun. Kata orang-orang, inilah yang disebut cinta monyet. Tak habis pikir, mengapa harus monyet? Mungkin saja cinta ini terlalu bodoh dirasakan atau mungkin cinta ini masih terlalu muda untuk dimiliki? Entahlah.
Kamu harus tahu kalau memandangmu dari bangkuku adalah hal yang selalu aku lakukan saat di kelas. Sedikit malu namun mengesankan. Kadang aliran darahku ikut menerjang hatiku yang kemaruk dan sedang mendaki level puncak dari perasaan yang membeku. Aku menamai kebiasaanku ini dengan stalking to eyes. Jika mengingatmu, aku merespon otakku dengan tawaan kecil penuh semburat kegembiraan yang aku sendiri tak mengerti apa yang terjadi.
*bersambung

0 comments:

 

More Than A Feeling Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting