---
Gelap menjerumuskanku untuk jatuh. Sedangkan terang menuntunku untuk bangkit.
---
Gelap menjerumuskanku untuk jatuh. Sedangkan terang menuntunku untuk bangkit.
---
Senja tergantikan
malam yang gelap. Gelap yang memilukan tanpa penerangan. Namun aku bersyukur,
di rumahku masih ada yang menerangi. Coba saja yang di luar sana?
Jujur, aku takut
kegelapan. Aku benci gelap yang datang tiba-tiba. Tidak untuk senja. Senja itu
indah. Berkas cahayanya
menyebar. Perpaduannya mengagungkan Tuhan. Dan aku menyukai semua ciptaan-Nya. Kuharap kamu juga di sana.
menyebar. Perpaduannya mengagungkan Tuhan. Dan aku menyukai semua ciptaan-Nya. Kuharap kamu juga di sana.
Nah, di malam yang
penuh dengan bintang seperti hari inilah aku menyukainya. Ditambah lagi bulan
purnama yang menemani. Bukankah itu adalah suasana yang pas untuk menulis? Apa
saja.
Menyiapkan alat
tulis, menyiapkan hati dan pikiran, serta teh hangat. Ah, yang satu itu tidak
pernah absen dalam ritualku. Teh adalah minuman wajib yang setia menemani. Walaupun
aku tahu teh tidak baik untuk sering diminum, tetapi aku menyukainya. Hanya
agak janggal saja jika tak ada minuman ini.
Aku mulai meresapi
setiap hembus udara yang mengelilingi. Aku memandang lurus sudut ruang lalu
kembali fokus ke benda persegi yang punya banyak garis horizontal ini. Ratusan
kata bahkan mengalun begitu saja tanpa memikirkan aku yang terbuai malam
melelahkan. Kejarlah aku. Kejarlah aku sang waktu. Buat diriku berlutut menimpa
bumi dan menurutimu untuk berjaga dalam mimpi.
Lelah berinteraksi
dengan diksi, aku tak lantas beranjak dari tempatku. Aku masih memutar otakku
untuk mengakhiri kata ini. Dan kudapatkan gelap menjadi terang, jatuh lalu
bangkit, dan suka menjadi cinta. Itulah yang kuharapkan dari kamu.
---
Cemburu. Buat aku terbiasa bersamanya.
---
Cemburu. Buat aku terbiasa bersamanya.
---
Satu hal yang menepis
raguku bahwa sebuah rasa memang kadang mengalun lembut namun terkadang juga
keras, mengetuk pintu di relung sana. Aku memiliki itu. Aku memiliki rasa itu. Mengertilah.
Kelas kembali parau. Banyak
seruan merdu melafalkan namamu dengan salah satu temanku. Entah hal apa yang
membawa mereka serentak berkata "cieeeee" dan aku terhentak. Aku
merasakan bara api menyala. Membakar waktuku. Hanya saja aku berusaha berpikir
"Kenapa bukan aku? Kenapa harus dia?" Ya, aku hanya tak suka. Aku
cemburu.
Oh hell. Apa yang kukatakan? Aku cemburu?
Oh ayolah. Kamu tak mengerti apa yang kupendam saat itu. Aku menyadari siapa
aku yang beraninya menepis bahwa kamu adalah rasaku. Demi apapun aku salah. Tak
seharusnya aku bersikap seperti ini terhadap diriku sendiri. Aku mungkin bisa
gila. Huh, lebih baik aku
menguncinya. Aku mengunci rasaku yang tak memedulikan bagaimana rasamu. Aku
akan terbawa alam dan aku menikmatinya. Aku bernafas bersamamu dan cukup
memandang senyummu. Cukup mendengar tawa kecilmu. Cukup menunduk malu untuk
bercanda denganmu. Apa lagi aku tak tahu.
Biarkan selama ini
rasa terus terkubur. Biarkan tak ada yang mau menggali. Biarkan aku tidak
peduli. Aku hanya tersenyum lega bahwa Tuhan memberiku kamu. Mengenalkanku
kepada sosok laki-laki yang berbeda. Kamu ramah, murah senyum, dan berhati
mulia. Tentu saja taat kepada-Nya.
Well. Sudah kubilang
aku tak sanggup bila tidak memujimu. Jangan salahkan aku. Mungkin aku masih
menjadi gadis labil yang baru mengenal dan merasakan cinta. Mengertilah.
Nikmatilah. Ini cinta monyet. Selagi
menjadi anak Ayah Bunda tak apa.
---
---
Terkadang kesabaran
tak cukup untuk membekali diri dalam menghadapi liku kehidupan. Harus ada
keimanan yang cukup kuat. Ukiran-ukiran masa telah mengajari semua apa yang
dikehendaki. Walaupun sebagai manusia, rasa suka, benci, marah, senang, dan
kecewa adalah yang lazim dimiliki. Hanya tergantung kita yang memaknainya.
Berbicara tentang
hidup, tak ada yang mulus. Mungkin aku tak mementingkan perasaan dalam hidupku
karena fokus terhadap masa depan adalah yang terpenting. Kamu mempunyai
pemikiran yang sama bukan? Aku tahu dari teman sebangkumu. Ya, mungkin aku
terlalu lancang bahkan aku terlalu menggilai apa saja tentangmu. Kurasa hal ini
cukup wajar untuk usiaku yang akan beranjak 17 tahun. Kata orang-orang, inilah
yang disebut cinta monyet. Tak habis pikir, mengapa harus monyet? Mungkin saja
cinta ini terlalu bodoh dirasakan atau mungkin cinta ini masih terlalu muda
untuk dimiliki? Entahlah.
Kamu harus tahu kalau
memandangmu dari bangkuku adalah hal yang selalu aku lakukan saat di kelas. Sedikit
malu namun mengesankan. Kadang aliran darahku ikut menerjang hatiku yang
kemaruk dan sedang mendaki level puncak dari perasaan yang membeku. Aku menamai
kebiasaanku ini dengan stalking to eyes.
Jika mengingatmu, aku merespon otakku dengan tawaan kecil penuh semburat
kegembiraan yang aku sendiri tak mengerti apa yang terjadi.
*bersambung
0 comments:
Post a Comment