Postingan ini hanyalah re-post doang. Tulisannya masih acak-acakan, alay pula, soalnya cerita ini terjadi ketika aku kelas tiga SMA, dan sekarang bukan lagi anak sekolahan. Anak kampus yuhuuuuu. Alright, keep scrolling this page hihi :D
----------
Temaram lilin menyeruak ke sebagian ruang. Berkasnya
tak kukenali waktu itu. Meski wajahnya takkan pudar dalam kenangan, peluknya
takkan dingin oleh masa, aku tak dapat merasakannya lagi, hangatpun tak ada dan
kasihpun jauh. Aku termenung, menangis, menyendiri ketika janji itu terucap lagi. Perlahan kutatap diri bersama bayangan maya yang terbentuk oleh cermin dan merasakan perih itu lagi.
kasihpun jauh. Aku termenung, menangis, menyendiri ketika janji itu terucap lagi. Perlahan kutatap diri bersama bayangan maya yang terbentuk oleh cermin dan merasakan perih itu lagi.
Sepi tetap merajalela. Aku bercakap lantas mendengar
suaranya lagi. Sejak sepuluh tahun yang lalu aku berkata secara langsung. Tak kurasa
bulir bening masih mengalir. Sedu itu perlahan kutahan agar tak menyerbak. Dan
lagi masih janji yang dia ucap. Menerkam kekecewaanku.
Senja menggantikan hari yang cerah. Aku mulai bermain
dengan kalimat. Beribu-ribu kertas sudah kukumpulkan bahkan hampir menyamai dua buah buku tulis. Selalu namanya yang kutulis. Tetap dia, siapa lagi?
Kutahan lagi tangis ini bersama ayunan huruf-huruf
yang terangkai. Hanya terdiri dari tiga huruf saja yang menjadi kata pokok. Aku
tahu, kalimat selanjutnya adalah rintihan hatiku dan aku tahu, di tempat dengan
ukuran cukup sempit ini tak tercipta melodi yang seirama dengan hatiku namun
bersenandung pelan menarik simpatiku. Selalu saja suasana seperti ini yang
kudapat. Sungguh aneh, apa aku tak bosan-bosan?
------
Aku bisa mengatakan ini adalah kesedihan. Namun aku
tak mau sedih. Aku selalu mengatakan pada diriku sendiri bahwa aku tidak pantas
mengeluh tetapi harus bersyukur. Walaupun aku selalu ingat ketika itu aku tak
sanggup melihatnya pergi. Sekali kutatap wajahnya, sekali telah membuatku
berlinang air mata. Sungguh, aku belum mengerti mengapa dia pergi, mengapa dia
menciumku, dan mengapa dia hilang dari hadapanku. Yang kutahu, ayah selalu
berkata, "Dia pergi untukmu, untuk adikmu, dan untuk masa depanmu".
Mungkin seumur itu aku tidak paham apa yang dikatakannya namun aku hanya
berusaha mengerti.
Aku masih ingat betul ketika itu aku mendapati adikku
menangis karena tidak berada di pelukannya. Aku hanya menangis dengan tegar,
meyakinkan saudara kecilku untuk jangan menangis. Aku tak tahan, jangan
menangis kataku. Jangan menangis!
------
Aku terhenti menulis. Bayangan itu kuhentikan. Biar
eloknya malam dengan bintang-bintang dan bulan di langit sana menemani malamku
yang selalu sendiri. Tentu saja, kali ini kubereskan kalimat itu yang
sebelumnya telah terangkah indah dan menyatu dengan konotasi-konotasi yang aku
sendiri tak tau dari mana aku mendapat kata itu. Namun yang kutahu, di saat
hidup menghimpitku dengan permasalahan aku selalu diberi keadaan tenang untuk
menulis. Jadilah tulisan namanya dalam bait-bait indah yang menjelma menjadi
puisi.
2010
Pagi menjelang. Mentari menarik simpul cerianya di
langit. Siluet cahaya menggugah lelapku lalu kulangkahkan kaki tepat
bersembunyi, menyiram kerisauan dan kesendirian yang kurasakan bertahun-tahun.
Ah! Kurasa aku akan bahagia karena di tahun inilah aku merasakan indahnya SMA.
Aku merasa benar-benar hidup!
2011
Tentang hal ini aku bosan mengatakannya. Lagi-lagi
janjinya merayap di layar ponselku. Kenyataan yang kubutuhkan harus digantikan
ucapan bohong! Aku tak mau membencinya tapi aku terlanjur dibuat perih olehnya.
Oh ayolah, dia ibuku, dia yang melahirkanku, tegakah dia meninggalkan
keluargaku? Kutebak pasti tidak, bukan?
Betapa dia tak mengerti aku sangat merindukannya. Aku
ingin pelukan dan kasihnya. Aku ingin bergelayut manja dalam dekapannya. Aku
ingin dia mengurus pagiku, memasakkan makanan untukku, dan membawakannya untuk
bekal sekolahku, bukannya aku sendiri yang payah untuk memasak. Tuhan, tak
dengarkah rintihanku?
Dan
sayangnya, dia masih mengucap janji. Bulan esok, esok, esok, dan esoknya lagi!
2012
Hujan mengguyur kota asal ayahku. Menelan kasar
keramaian akan perasaan menggebu. Sunyi, hanya desiran angin menemani tintaku
bergoyang pelan. Meraih kata dan menulis namanya.
"Aku
malas mengikuti motivasi seperti ini! Ujungnya, kita pasti dibuat
menangis..." ucapku pada temanku tatkala aku sampai di sebuah tempat di
mana sekolahku –kelas 12-mengikuti acara motivasi yang dilaksanakan sebuah
stasiun radio di kotaku.
Ah! Berat rasanya melangkah. Hawa-hawa yang tak
diinginkan seolah menghantuiku. Aku memang payah dengan hal ini. Hatiku selalu
memberontak ketika alunan nada-nada kesedihan menerpa indera pendengaranku.
Apalagi berhubungan dengan ibuku, ayahku, keluargaku. Seolah-olah mereka tahu
apa yang aku dan siswa lainnya pikirkan. Maksudku, remaja seperti kami memiliki
tanggung jawab untuk masa depan. Oh demi Tuhan, aku muak!
-------
Mereka tiba. Siap membunuhku! Awalan yang bagus.
Memotivasi. menerjang adrenalin dengan hiburan yang mengacaukan
bayangan-bayangan menyebalkan di otakku. Apalagi setelah melihat aksi
guru-guruku berjoget Gangnam Style.
Hey! Itu ada wali kelasku. Ya, aku terhibur. Mereka sukses membuatku kacau.
Entahlah.
Deg! Musik berhenti. Kutatap sorotan matanya yang
seolah-olah menyiratkan kata 'inilah
saatnya'. Aku selalu menahan ini. Perasaan yang membuatku takut sebagai
anak. Mereka piawai menggertakkan hati dan jiwa. Ya, aku tahu, memang inilah
tugasnya.
Kristal bening bercucuran. Segukan-segukan merdu
bernyanyi memenuhi ruangan yang cukup sempit. Menggelorakan keadaan ‘aku yang berdosa’. Aku benci ini!
Mencium kata 'ibu' di sana. Mereka
seolah menertawakanku puas karena makhluk Tuhan yang dipanggil ibu itu tak di
sampingku. Aku seperti mengharapkannya. Tepatnya aku merindukannya. Tuhan, aku
tak salah bukan? Maksudku aku tak membencinya. Aku hanya kesal!
Pelukan-pelukan hangat menyentuh permukaan ragaku yang
sedikit goyah. Kata maaf terucap seiring kata-kata yang bersenandung indah
tentang persahabatan. Ini mustahil! Aku bahkan memeluk dan memaafkan orang yang
kubenci. Tidak! Mereka puas membuatku lemah dalam mantranya sehingga musuhku
sendiri bertekuk lutut saling bermaafan. Kurasa aku lega memeluknya, mendengar
ucapan maafnya, merasakan sentuhan-sentuhan dari orang-orang yang menganggapku
ada. Teman-temanku. Sungguh, aku tak ada apa-apanya tanpa mereka.
---------
Bayangkan mereka telah
hampir mengubur asanya, masih sanggupkah aku sabar mengurus dan mencintainya
seperti apa yang mereka lakukan semasa hidupku?
Ini sesi terakhir dari acara ini. Kupikir hanya
salaman lalu pergi dan perasaanku akan tenang, ternyata tidak. Batinku masih
berkecamuk sedang tatkala semakin dekat nafas ini merengkuh dekapan seorang
wanita yang berjasa di dunia pendidikan. Kecupan di pipi terasa menggugah
nyaliku yang lemah ini untuk mengeluarkan air mata. Mengalir melewati muara
pipi, terkesan cengeng di hadapan semua. Namun yang membuat hatiku bergetar,
yaitu ketika kecupan bibir dari seorang guru bahasa inggrisku mendarat di kedua
pipi. Jujur, beliau memiliki kesamaan dengan ibuku. Maksudku, seperti ada
kerinduan yang lepas. Betapa hangat setiap inci aromanya, mengetuk dinding hati
yang tertimbun ribuan janji yang sebatas menjadi janji.
Aku masih mengutuk diriku yang lemah. Aku payah. Payah
menerima takdir. Mengeluh lagi, dan lagi. Dia hidup, kau tahu! Lalu, mengapa
dia tak di sini hah? Pertanyaan konyol yang kuutarakan kepada makhluk halus
berpakaian putih dan berada di sebelah kananku ini. Seolah aku bosan dengan kata-kata
bijaknya. Lantas, makhluk itu menjawab, "Apa kau bodoh? Untuk apa kau
bersekolah jika pikiranmu masih dangkal? Untuk apa lagi ibumu bersusah payah
bekerja untukmu yang bodoh tak mau menerima takdir? Apa kau benar-benar bodoh
hah? Jawablah jika kau mampu membuatnya kecewa".
Aku mengerang. Membebaskan gejolak emosi yang sedikit
menjamahiku. Aku menunduk perih. Merasakan sakit yang kian menusuk dada.
Meneteskan bulir bening yang tak kusadari telah merembes keluar. Menuntun
langkahku untuk kembali menjadi aku. Aku, yang diselimuti ketenangan dan
kesabaran. "Maafkan aku Ibu, bukan maksudku. Bukan itu.
Bukaaann....." kataku terhenti tatkala ponselku berbunyi. Dengan cepat
kulihat layarnya yang ternyata...
"Maafkan aku..." desisku. "Apa yang kau
bicarakan, nak?" aku diam, mana mungkin aku akan menceritakannya? Oh
ayolah. "Tidak bu, tidak apa-apa, hanya saja, aku perlu meminta maaf agar
aku lega, tenang menjalani kehidupanku di sini. Umm, bagaimana kabar ibu?"
tanyanku memekik ruang. "Alhamdulillah, tenang nak, ibu akan segera
pulang...." aku menekuk dahiku, merasakan sebutir tangisan bahagia.
Memposisikan aku yang merindukannya.
---------
2013
Setiap takdir tidak selalu mulus adanya. Kadang
menerkam kita, kadang memeluk kita. Hanya orang bodoh yang menyesali takdirnya.
Karena mereka tidak tahu betapa Tuhan meletakkan titik indah di dalamnya...
Januariku yang baru. Tulisan namanya ini masih setia
menantikan bidadariku. Malamku ini, malam yang terasa menyejukkan. Coba tebak,
apakah kalian tahu tulisan apa yang selalu aku torehkan di kertas?
"IBU"
Well, kata inilah yang selalu aku jadikan judul yang
di setiap baitnya berkembang rangkaian kata yang sesuai dengan gejolak batinku.
Tapi aku rasa, aku tak perlu galau lagi. Mungkin, hari yang baru ini, aku
sedikit bermain dengan bolpoinku. Ya, tulisan namamu. Lihatlah ini!
1 Januari 2013 00:00 WIB
IBU
Aku merindukannya
Aku mencintainya
Aku berharap dia di sini,
Memelukku dalam dekapannya
Merengkuh tubuhku untuk tinggal,
Dalam kehangatannya
Melintas lama menoleh keberhasilan
Dialah yang pertama aku sebut, IBU ...
------
Tuhan, terimakasih engkau masih melindungi keluargaku.
Engkau masih menyayangiku, menunjukkanku hal terbaik yang patut kukenal. Aku
tak lagi membencinya, Tuhan. Aku tak menyesali takdir-Mu. Aku tak
menyalahkan-Mu. Aku mencintai-Mu, Tuhan, dan aku mencintai bidadariku, Ibu.
Kubuang
pena itu asal kemana. Kuberanjak pasti mengikuti irama damai menuntunku.
Menengadah untuk bersyukur akan hidupku. Aku tersenyum. Menoleh makhluk
berpakaian putih yang selalu menemani pikiran baikku dan memberikan senyum
terindahku. Tapi aku tersenyum licik untuk makhluk berpakaian merah yang selalu
menemani pikiran burukku. Aku tertawa geli. Lantas aku kembali memandang lurus.
Merasakan desiran angin menyentuh kulit polosku dan membiarkannya tenang dalam
doa. (*)
0 comments:
Post a Comment