Friday, 17 January 2014

Tulisan Namamu

Posted by Dear Miss Putri at 7:49 am
Postingan ini hanyalah re-post doang. Tulisannya masih acak-acakan, alay pula, soalnya cerita ini terjadi ketika aku kelas tiga SMA, dan sekarang bukan lagi anak sekolahan. Anak kampus yuhuuuuu. Alright, keep scrolling this page hihi :D
----------
Temaram lilin menyeruak ke sebagian ruang. Berkasnya tak kukenali waktu itu. Meski wajahnya takkan pudar dalam kenangan, peluknya takkan dingin oleh masa, aku tak dapat merasakannya lagi, hangatpun tak ada dan
kasihpun jauh. Aku termenung, menangis, menyendiri ketika janji itu terucap lagi. Perlahan kutatap diri bersama bayangan maya yang terbentuk oleh cermin dan merasakan perih itu lagi.
Sepi tetap merajalela. Aku bercakap lantas mendengar suaranya lagi. Sejak sepuluh tahun yang lalu aku berkata secara langsung. Tak kurasa bulir bening masih mengalir. Sedu itu perlahan kutahan agar tak menyerbak. Dan lagi masih janji yang dia ucap. Menerkam kekecewaanku.
Senja menggantikan hari yang cerah. Aku mulai bermain dengan kalimat. Beribu-ribu kertas sudah kukumpulkan bahkan hampir menyamai dua buah buku tulis. Selalu namanya yang kutulis. Tetap dia, siapa lagi?
Kutahan lagi tangis ini bersama ayunan huruf-huruf yang terangkai. Hanya terdiri dari tiga huruf saja yang menjadi kata pokok. Aku tahu, kalimat selanjutnya adalah rintihan hatiku dan aku tahu, di tempat dengan ukuran cukup sempit ini tak tercipta melodi yang seirama dengan hatiku namun bersenandung pelan menarik simpatiku. Selalu saja suasana seperti ini yang kudapat. Sungguh aneh, apa aku tak bosan-bosan?
------
Aku bisa mengatakan ini adalah kesedihan. Namun aku tak mau sedih. Aku selalu mengatakan pada diriku sendiri bahwa aku tidak pantas mengeluh tetapi harus bersyukur. Walaupun aku selalu ingat ketika itu aku tak sanggup melihatnya pergi. Sekali kutatap wajahnya, sekali telah membuatku berlinang air mata. Sungguh, aku belum mengerti mengapa dia pergi, mengapa dia menciumku, dan mengapa dia hilang dari hadapanku. Yang kutahu, ayah selalu berkata, "Dia pergi untukmu, untuk adikmu, dan untuk masa depanmu". Mungkin seumur itu aku tidak paham apa yang dikatakannya namun aku hanya berusaha mengerti.
Aku masih ingat betul ketika itu aku mendapati adikku menangis karena tidak berada di pelukannya. Aku hanya menangis dengan tegar, meyakinkan saudara kecilku untuk jangan menangis. Aku tak tahan, jangan menangis kataku. Jangan menangis!
------
Aku terhenti menulis. Bayangan itu kuhentikan. Biar eloknya malam dengan bintang-bintang dan bulan di langit sana menemani malamku yang selalu sendiri. Tentu saja, kali ini kubereskan kalimat itu yang sebelumnya telah terangkah indah dan menyatu dengan konotasi-konotasi yang aku sendiri tak tau dari mana aku mendapat kata itu. Namun yang kutahu, di saat hidup menghimpitku dengan permasalahan aku selalu diberi keadaan tenang untuk menulis. Jadilah tulisan namanya dalam bait-bait indah yang menjelma menjadi puisi.
2010
Pagi menjelang. Mentari menarik simpul cerianya di langit. Siluet cahaya menggugah lelapku lalu kulangkahkan kaki tepat bersembunyi, menyiram kerisauan dan kesendirian yang kurasakan bertahun-tahun. Ah! Kurasa aku akan bahagia karena di tahun inilah aku merasakan indahnya SMA. Aku merasa benar-benar hidup!
2011         
Tentang hal ini aku bosan mengatakannya. Lagi-lagi janjinya merayap di layar ponselku. Kenyataan yang kubutuhkan harus digantikan ucapan bohong! Aku tak mau membencinya tapi aku terlanjur dibuat perih olehnya. Oh ayolah, dia ibuku, dia yang melahirkanku, tegakah dia meninggalkan keluargaku? Kutebak pasti tidak, bukan?
Betapa dia tak mengerti aku sangat merindukannya. Aku ingin pelukan dan kasihnya. Aku ingin bergelayut manja dalam dekapannya. Aku ingin dia mengurus pagiku, memasakkan makanan untukku, dan membawakannya untuk bekal sekolahku, bukannya aku sendiri yang payah untuk memasak. Tuhan, tak dengarkah rintihanku?
Dan sayangnya, dia masih mengucap janji. Bulan esok, esok, esok, dan esoknya lagi!
2012
Hujan mengguyur kota asal ayahku. Menelan kasar keramaian akan perasaan menggebu. Sunyi, hanya desiran angin menemani tintaku bergoyang pelan. Meraih kata dan menulis namanya.
"Aku malas mengikuti motivasi seperti ini! Ujungnya, kita pasti dibuat menangis..." ucapku pada temanku tatkala aku sampai di sebuah tempat di mana sekolahku –kelas 12-mengikuti acara motivasi yang dilaksanakan sebuah stasiun radio di kotaku.
Ah! Berat rasanya melangkah. Hawa-hawa yang tak diinginkan seolah menghantuiku. Aku memang payah dengan hal ini. Hatiku selalu memberontak ketika alunan nada-nada kesedihan menerpa indera pendengaranku. Apalagi berhubungan dengan ibuku, ayahku, keluargaku. Seolah-olah mereka tahu apa yang aku dan siswa lainnya pikirkan. Maksudku, remaja seperti kami memiliki tanggung jawab untuk masa depan. Oh demi Tuhan, aku muak!
-------
Mereka tiba. Siap membunuhku! Awalan yang bagus. Memotivasi. menerjang adrenalin dengan hiburan yang mengacaukan bayangan-bayangan menyebalkan di otakku. Apalagi setelah melihat aksi guru-guruku berjoget Gangnam Style. Hey! Itu ada wali kelasku. Ya, aku terhibur. Mereka sukses membuatku kacau. Entahlah.
Deg! Musik berhenti. Kutatap sorotan matanya yang seolah-olah menyiratkan kata 'inilah saatnya'. Aku selalu menahan ini. Perasaan yang membuatku takut sebagai anak. Mereka piawai menggertakkan hati dan jiwa. Ya, aku tahu, memang inilah tugasnya.
Kristal bening bercucuran. Segukan-segukan merdu bernyanyi memenuhi ruangan yang cukup sempit. Menggelorakan keadaan ‘aku yang berdosa’. Aku benci ini! Mencium kata 'ibu' di sana. Mereka seolah menertawakanku puas karena makhluk Tuhan yang dipanggil ibu itu tak di sampingku. Aku seperti mengharapkannya. Tepatnya aku merindukannya. Tuhan, aku tak salah bukan? Maksudku aku tak membencinya. Aku hanya kesal!
Pelukan-pelukan hangat menyentuh permukaan ragaku yang sedikit goyah. Kata maaf terucap seiring kata-kata yang bersenandung indah tentang persahabatan. Ini mustahil! Aku bahkan memeluk dan memaafkan orang yang kubenci. Tidak! Mereka puas membuatku lemah dalam mantranya sehingga musuhku sendiri bertekuk lutut saling bermaafan. Kurasa aku lega memeluknya, mendengar ucapan maafnya, merasakan sentuhan-sentuhan dari orang-orang yang menganggapku ada. Teman-temanku. Sungguh, aku tak ada apa-apanya tanpa mereka.
---------
Bayangkan mereka telah hampir mengubur asanya, masih sanggupkah aku sabar mengurus dan mencintainya seperti apa yang mereka lakukan semasa hidupku?
Ini sesi terakhir dari acara ini. Kupikir hanya salaman lalu pergi dan perasaanku akan tenang, ternyata tidak. Batinku masih berkecamuk sedang tatkala semakin dekat nafas ini merengkuh dekapan seorang wanita yang berjasa di dunia pendidikan. Kecupan di pipi terasa menggugah nyaliku yang lemah ini untuk mengeluarkan air mata. Mengalir melewati muara pipi, terkesan cengeng di hadapan semua. Namun yang membuat hatiku bergetar, yaitu ketika kecupan bibir dari seorang guru bahasa inggrisku mendarat di kedua pipi. Jujur, beliau memiliki kesamaan dengan ibuku. Maksudku, seperti ada kerinduan yang lepas. Betapa hangat setiap inci aromanya, mengetuk dinding hati yang tertimbun ribuan janji yang sebatas menjadi janji.
Aku masih mengutuk diriku yang lemah. Aku payah. Payah menerima takdir. Mengeluh lagi, dan lagi. Dia hidup, kau tahu! Lalu, mengapa dia tak di sini hah? Pertanyaan konyol yang kuutarakan kepada makhluk halus berpakaian putih dan berada di sebelah kananku ini. Seolah aku bosan dengan kata-kata bijaknya. Lantas, makhluk itu menjawab, "Apa kau bodoh? Untuk apa kau bersekolah jika pikiranmu masih dangkal? Untuk apa lagi ibumu bersusah payah bekerja untukmu yang bodoh tak mau menerima takdir? Apa kau benar-benar bodoh hah? Jawablah jika kau mampu membuatnya kecewa".
Aku mengerang. Membebaskan gejolak emosi yang sedikit menjamahiku. Aku menunduk perih. Merasakan sakit yang kian menusuk dada. Meneteskan bulir bening yang tak kusadari telah merembes keluar. Menuntun langkahku untuk kembali menjadi aku. Aku, yang diselimuti ketenangan dan kesabaran. "Maafkan aku Ibu, bukan maksudku. Bukan itu. Bukaaann....." kataku terhenti tatkala ponselku berbunyi. Dengan cepat kulihat layarnya yang ternyata...
"Maafkan aku..." desisku. "Apa yang kau bicarakan, nak?" aku diam, mana mungkin aku akan menceritakannya? Oh ayolah. "Tidak bu, tidak apa-apa, hanya saja, aku perlu meminta maaf agar aku lega, tenang menjalani kehidupanku di sini. Umm, bagaimana kabar ibu?" tanyanku memekik ruang. "Alhamdulillah, tenang nak, ibu akan segera pulang...." aku menekuk dahiku, merasakan sebutir tangisan bahagia. Memposisikan aku yang merindukannya.
---------
2013
Setiap takdir tidak selalu mulus adanya. Kadang menerkam kita, kadang memeluk kita. Hanya orang bodoh yang menyesali takdirnya. Karena mereka tidak tahu betapa Tuhan meletakkan titik indah di dalamnya...
Januariku yang baru. Tulisan namanya ini masih setia menantikan bidadariku. Malamku ini, malam yang terasa menyejukkan. Coba tebak, apakah kalian tahu tulisan apa yang selalu aku torehkan di kertas?
"IBU"
Well, kata inilah yang selalu aku jadikan judul yang di setiap baitnya berkembang rangkaian kata yang sesuai dengan gejolak batinku. Tapi aku rasa, aku tak perlu galau lagi. Mungkin, hari yang baru ini, aku sedikit bermain dengan bolpoinku. Ya, tulisan namamu. Lihatlah ini!
1 Januari 2013 00:00 WIB
IBU
Aku merindukannya
Aku mencintainya
Aku berharap dia di sini,
Memelukku dalam dekapannya
Merengkuh tubuhku untuk tinggal,
Dalam kehangatannya
Melintas lama menoleh keberhasilan
Dialah yang pertama aku sebut, IBU ...
------
Tuhan, terimakasih engkau masih melindungi keluargaku. Engkau masih menyayangiku, menunjukkanku hal terbaik yang patut kukenal. Aku tak lagi membencinya, Tuhan. Aku tak menyesali takdir-Mu. Aku tak menyalahkan-Mu. Aku mencintai-Mu, Tuhan, dan aku mencintai bidadariku, Ibu.
Kubuang pena itu asal kemana. Kuberanjak pasti mengikuti irama damai menuntunku. Menengadah untuk bersyukur akan hidupku. Aku tersenyum. Menoleh makhluk berpakaian putih yang selalu menemani pikiran baikku dan memberikan senyum terindahku. Tapi aku tersenyum licik untuk makhluk berpakaian merah yang selalu menemani pikiran burukku. Aku tertawa geli. Lantas aku kembali memandang lurus. Merasakan desiran angin menyentuh kulit polosku dan membiarkannya tenang dalam doa. (*)

0 comments:

 

More Than A Feeling Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting