Thursday, 16 January 2014

NEW YEAR (Bahagia itu Sederhana)

Posted by Dear Miss Putri at 4:43 pm


Tahun baru, tahun kemarin, 2013. Aku mendengarnya seperti biasa saja. Tapi bagi kebanyakan orang, seperti fenomena yang wajib dilewati; ketika tengah malam tiba, sorak gembira ratusan, bahkan ribuan, oh mungkin jutaan orang di kota di mana aku sedang menempatinya, sangat ingin merayakannya dengan orang-orang tercinta, terdekat, dan lainnya. Tapi kautahu aku bisa apa di sini? Maksudku,
apa yang dapat aku lakukan di sini?
Sekalipun aku di sini, di kota asalku pun tidak ada yang dapat aku lakukan selain bersama dengan diriku sendiri. Mungkin, kalau tidak, bermain dengan anak-anak kecil yang bisa aku ajak bercanda, bermain di bawah penerangan yang cukup, mencari kesenangan sendiri dan berlari dari keramaian. Layar televisi juga bisa, kok. Cukup ruangan itu dihuni tiga penonton setia. Tak perlu takut jenuh, pria dengan kulit cokelat tua itu selalu menyediakan jajanan yang tak kalah membuat kami senang, lebih bahagia dibandingkan orang-orang yang ada di luar sana, di luar yang hanya sedang jalan-jalan, menunggu, dan aku tak tahu lagi apa.
Tinggal kami berdua, saudaraku. Biasanya, kami hanya diam, kadang bercerita, berkomentar apa pun yang kami lihat, berlomba makan cepat, saling berebut channel, dan hal-hal menyenangkan lainnya yang bisa kami lakukan. Jangan tanya apakah aku cukup bahagia dengan rutinitas seperti itu. Yang hanya menghadirkan kebersamaan di ruang sempit dengan satu televisi di tengah sisi dinding. Dengan satu penerangan di langit-langit yang tiga bulan sekali pasti menggantinya dengan yang baru. Dengan cukup senyum, tawa, dan ah selalu ada terselip kerinduan. Kami menikmatinya.
Bila tengah malam tiba, tepat pergantian tahun, di mana orang-orang berhamburan di keramaian, masih sosok pria cokelat tua itu membangunkan kami. Kautahu apa yang kami lakukan? Jangan tertawakan kami. Kami hanya menatap langit dari teras rumah kami, tepat menghadap utara; yaitu arah ke kota. Hanya duduk di undakan tangga teras kami, hanya bertiga, saling menguap sebenarnya, tapi apa yang telah ditunggu-tunggu tiba. Warna-warni kembang api yang terlukis di langit. Subhanallah! Sungguh indah ciptaan manusia yang berilmu, yang telah menciptakannya. Suaranya terdengar berkali-kali. Banyak. Bahkan percikan apinya seperti membentuk air terjun, atau seperti payung, atau seperti kran yang mengalir air dan menghadapkannya ke atas. Oh tak sia-sialah kami bangun. Dan kami selalu beruntung. Tak perlu ke kota, tapi kami sudah menikmati kembang api yang disulut orang-orang, terlebih kembang api yang disulut di alun-alun kota. Sesudah itu, bila kami belum puas dan enggan untuk kembali tidur, kunyalakan benda persegi itu lagi, dan melihat kembang api lagi, dan lagi. Ah, betapa banyaknya program yang disediakan, dan penonton tinggal memilih saja mana yang sesuai.
Kukatakan, kebahagiaan itu sederhana. Sesederhananya keluarga kami. Dan, aku rindu itu semua! Apakah hanya aku saja yang merindukan hal itu sekarang? Katakan padaku, Tuhan.
“Selamat ulang tahun!” kataku seraya menjabat tangannya yang lebih kecil dariku.
“Makasih, teteh.”
Tidur. Kembali bermimpi. Namun ada yang mengganjal setelah ucapan itu. Tidakkah aku memberinya sesuatu? Teteh macam apa aku ini? Berkali-kali kupejamkan mata. Berkali-kali kutahu dia menelan pahit kekecewaan. Saudaraku, kautahu tentang kita, kautahu tentangku, kautahu semuanya yang ada di rumah kita, cukup kautahu. Lalu, tunggulah aku memberimu sesuatu yang terbaik dan terindah dari apa yang kaubayangkan. Harapan, doa, kata-kata indah yang perlu kaugenggam. Hanya itu. Kuharap kau tidak merutukiku.
Belum senja, tetapi hujan terus mengguyur kota Jogja. Aku masih terjebak bersama kedua temanku. Di lobi kampus setelah mata kuliah Reading and Writing. Sebut saja mereka Minion. Kami membicarakan perkuliahan tadi. Tentang dosen yang kecewa kepada kita, tentang diam, tentang metode pembelajaran, tentang teman-teman, tentang kakakku yang sedang jatuh cinta, dan pastinya tentang bahagianya aku hari itu. Hari terakhir di tahun 2013. Kautahu crush? Ya, dia my crush, dia membuatku terus tersenyum. Terus tersenyum sampai kakiku takbisa diam, seperti apa yang dilakukan kakakku. Cacing kepanasan! Momen sederhana, sih. Tapi kauharus tahu, sesederhananya momen itu, sehebatnya hati bergemuruh. Well, kadang aku berlebihan mengungkapkan ini, tapi beginilah orang yang sedang jatuh cinta. Jatuh cinta? Kagum mungkin. Karena sesungguhnya aku tidak tahu apakah aku suka atau sebatas kagum. Lupakan tentang Fasol, my crush.
“Keluar, yuk!” ajak salah satu Minion.
“Gak, males, mending ke tempat Bunda, mau?” tanpa menunggu aba-aba, aku langsung menyuruhnya berkata iya.
Dan singkatnya, kami—aku dan salah satu Minion—pergi ke kost Bunda, temanku sekelas. Kami memang memanggilnya dengan sebutan “Bunda” karena dia memanggil kami dengan sebutan “nduk”. Apalah itu.
Tidak ada yang spesial di sini. Kami hanya mengagetkan Bunda di depan pintu. Lalu mencari makan. Itupun lamanya hampir setengah jam. Dan masih diguyur hujan gerimis di luar. Tetap sama, dengan Minion yang tak henti-hentinya merengek kelaparan. Dasar perut karet! Aku tertawa. Menepis bayangan tentang kerinduan yang mulai lagi mengejekku. Kautahu, bersama temanlah aku bisa menghindar dari masalah. Terlebih bila bersama kakakku. Teman-teman dan khususnya kakakku, merekalah pengganti bahagiaku. Sungguh. Dan oleh sebab itu aku selalu berdoa kepada Tuhan untuk menjadikan mereka terus teman, lebih dari sekadar teman, tetapi sahabat.
Gelak tawa telah kami buat. Aku sampai tidak bisa berhenti tertawa karena mereka terus melakukan hal konyol. Kautahu, kami mengerjai seseorang. Oh Tuhan, mereka ini bicara apa, sih. Lewat akun facebook milik Minion, Bunda memulai percakapan dengan teman kami sekelas, mengatainya yang tidak-tidak, seolah-olah akunnya terbajak, dan begitulah. Bukan masalah bagiku karena itu bukan akun milikku, tapi pada akhirnya aku kena juga. Haha.
Sejujurnya, apa yang kami lakukan hanyalah sebatas bermain. Seperti hari-hari biasa. Seperti yang kubilang tadi, tak ada yang spesial. Namun yang kudapatkan di sana adalah rasa bahagia yang bercampur dengan kebersamaan. Akrab. Kita seperti tengah kumpul di ruang keluarga yang sedang kami rindukan momen seperti itu. Ya, begitulah.
Waktu tepat menunjukkan pukul 10.10 malam. Mulai lagi dengan kesendirianku. Kumulai lagi dengan mendengarkan irama setiap huruf yang muncul di screen. Dan tak kurasa, tanpa ada tema, jemariku dengan tidak sabaran ingin menari di atas keyboard. Seringkali bosan, tapi apa yang dapat aku lakukan? Ya, pertanyaan itu tetap muncul saat itu.
Kucek daftar event yang akan kuikuti. Lagi-lagi aku malas mengerjakannya. Tidak ada ide. Yang ingin aku tulis adalah mengenai saat ini. Bukan dalam tema itu. Aku ingin menulis bebas. Mengikuti rangkaian cerita yang dapat kubagi hari ini. Tidak untuk orang lain, tapi untukku sendiri. Dan selalu ada damai. Ada tawa dalam setiap malam. Coba tebak, apa yang aku dapatkan? Ah, ini bukan apa-apa, sih. Hanya balasan cerita dari kakakku. Yang membuatku tertawa hanya kesan pertama dia tentangku. Oh ternyata seperti itu kah diriku di mata orang lain. Ya, boleh jadi aku bangga, boleh jadi aku menciut. Hanya saja, lucu. Aku tak perlu menyebutkan siapa kakakku, kan. Teman-teman sekelasku tahu, kok.
Hal lain yang kurasakan adalah keheningan. Selepas tawa itu mengantarku ke tempat di mana dia selalu membawaku untuk tersenyum, saat itulah sebuah rindu menjemputku. Menenggelamkan setiap pandangan yang berisi kepingan memori. Membiarkanku memandang lurus, kosong seperti tanpa bayangan. Masih teringat layar-layar dalam film kehidupan berlarian kemari, memburu ingatanku, agar aku lemah dan tak dapat berkutik. Agar aku siap memenuhi ajakan malam untuk singgah dalam damainya. Tidak, aku harus bangkit. Tak kubiarkan lagi ajakan-ajakan payah yang menguburkan semangatnya hidup di kota orang. Takkan kubiarkan senyumku mengkerut. Dan aku akan mengingat apa kata kakakku, “The best thing of you is your smile, so keep smile, ya.” It makes me better, but for now, it couldn’t.
Kulirik jam di layar ponselku. Memang bukan seperti biasanya. Jika setiap malam tak pernah ada suara keramaian di sekitarku, tak ada suara canda dan tawa, selalu sepi, tidak ada dentuman motor yang lalu lalang, tapi kali ini aku mendengarnya. Berkali-kali aku merasakan atmosfer kebahagiaan mereka yang sedang menunggu tengah malam. Dan kali ini malam sukses membuatku berlinang air mata, yang awalnya aku sudah menahan segalanya yang akan membuatku seperti itu. Aku tahu aku memang goyah mengingat ini, bukan tentang mereka yang di sana. Bukan bapakku, bukan adikku, bukan simbah, bukan yang ada di rumahku. Bukan itu. Tapi dia, wanitaku yang jauh di sana. Selalu satu pertanyaan yang bersarang, “kapan kau pulang melihat anakmu ini?”
Sudah berapa tahun baru yang engkau lewati di sana?
Jangan pernah biarkan aku terus mengingat pertanyaan bodoh yang tiap malam selalu saja merayap. Lembaran baru ini seharusnya menjadi awal aku membuktikan padanya bahwa aku bukan lagi anaknya yang dulu sekali—ketika masih kelas tiga Sekolah Dasar—menangis karena kepergiannya, bukan lagi anaknya yang dulu enggan belajar bahasa Inggris, bukan lagi anak manja yang minta ini itu, bukan lagi aku yang sembunyi di balik rasa takut, dan bukan lagi aku yang terakhir kali engkau melihatku secara langsung. Aku kini, lihatlah aku di kota orang ini. Lihatlah aku bila aku masih benar di matamu, peristiwa, takdir, telah mengajarkanku untuk kuat. Mengerti bagaimana Tuhan telah memberi keluarga yang sederhana ini. Takkan pernah aku memaksakan keadaan. Jika kau tahu apa yang sebenarnya ada di dalam hatiku yang paling dalam, aku tidak membutuhkan hartamu, aku hanya ingin kasih sayangmu, aku ingin rangkulanmu di setiap pagi, aku ingin sungkem di setiap hari raya besar kita, aku ingin segalanya tentangmu.
Kapan?
Kuhentikan segukan kasar yang menjelma menjadi tangisan. Aku bertekad untuk takkan larut dalam kesedihan karena Tuhan membenci itu. Namun, bagaimana bila kerinduan dalam sunyi tiba-tiba memelukku?
Kumulai lagi berpikir. Satu. Dua. Tiga. “Apa yang akan kaulakukan di tahun 2014?”
Alright, I wanna make a list. Dream. See tomorrow will come better with a new day, new year. 2014.
Paginya, ketika sang fajar shoddiq menyapa, “makasih kadonya bagus.”
Aku tahu dia bahagia di hari spesialnya. Dan untuk pertama kalinya aku melakukan hal ini. Walau hanya candaan awalnya, kuharap dia mengerti bahwa ini sebagian dari kejailanku. Ya, tak bisa dipungkiri, hubungan kakak-adik memang perlu warna yang berbeda. Hanya inilah yang dapat aku katakan, “buat mereka tersenyum bangga karenamu, itu lebih dari ucapan terima kasih. Miss you, always.”
Sungguh. Aku tidak bisa mengakhiri cerita ini dengan sangat apik. Aku tidak pandai membuat ending. Yang pastinya tahun baru ini adalah yang berbeda. There are new spirit, passion, and target. Catatan hidupku akan bertambah di sini, di Jogja, tempat kumeraih mimpi, tempat kumencari kehidupan yang lebih baik, teruntuk mereka yang mempercayakanku.

0 comments:

 

More Than A Feeling Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting