Tahun baru, tahun
kemarin, 2013. Aku mendengarnya seperti biasa saja. Tapi bagi kebanyakan orang,
seperti fenomena yang wajib dilewati; ketika tengah malam tiba, sorak gembira
ratusan, bahkan ribuan, oh mungkin jutaan orang di kota di mana aku sedang
menempatinya, sangat ingin merayakannya dengan orang-orang tercinta, terdekat,
dan lainnya. Tapi kautahu aku bisa apa di sini? Maksudku,
apa yang dapat aku lakukan di sini?
apa yang dapat aku lakukan di sini?
Sekalipun aku di sini,
di kota asalku pun tidak ada yang dapat aku lakukan selain bersama dengan
diriku sendiri. Mungkin, kalau tidak, bermain dengan anak-anak kecil yang bisa
aku ajak bercanda, bermain di bawah penerangan yang cukup, mencari kesenangan
sendiri dan berlari dari keramaian. Layar televisi juga bisa, kok. Cukup ruangan itu dihuni tiga
penonton setia. Tak perlu takut jenuh, pria dengan kulit cokelat tua itu selalu
menyediakan jajanan yang tak kalah membuat kami senang, lebih bahagia
dibandingkan orang-orang yang ada di luar sana, di luar yang hanya sedang
jalan-jalan, menunggu, dan aku tak tahu lagi apa.
Tinggal kami berdua,
saudaraku. Biasanya, kami hanya diam, kadang bercerita, berkomentar apa pun
yang kami lihat, berlomba makan cepat, saling berebut channel, dan hal-hal menyenangkan lainnya yang bisa kami lakukan.
Jangan tanya apakah aku cukup bahagia dengan rutinitas seperti itu. Yang hanya
menghadirkan kebersamaan di ruang sempit dengan satu televisi di tengah sisi
dinding. Dengan satu penerangan di langit-langit yang tiga bulan sekali pasti
menggantinya dengan yang baru. Dengan cukup senyum, tawa, dan ah selalu ada terselip kerinduan. Kami
menikmatinya.
Bila tengah malam tiba,
tepat pergantian tahun, di mana orang-orang berhamburan di keramaian, masih
sosok pria cokelat tua itu membangunkan kami. Kautahu apa yang kami lakukan?
Jangan tertawakan kami. Kami hanya menatap langit dari teras rumah kami, tepat
menghadap utara; yaitu arah ke kota. Hanya duduk di undakan tangga teras kami,
hanya bertiga, saling menguap sebenarnya, tapi apa yang telah ditunggu-tunggu
tiba. Warna-warni kembang api yang terlukis di langit. Subhanallah! Sungguh
indah ciptaan manusia yang berilmu, yang telah menciptakannya. Suaranya
terdengar berkali-kali. Banyak. Bahkan percikan apinya seperti membentuk air
terjun, atau seperti payung, atau seperti kran yang mengalir air dan
menghadapkannya ke atas. Oh tak sia-sialah kami bangun. Dan kami selalu beruntung.
Tak perlu ke kota, tapi kami sudah menikmati kembang api yang disulut
orang-orang, terlebih kembang api yang disulut di alun-alun kota. Sesudah itu,
bila kami belum puas dan enggan untuk kembali tidur, kunyalakan benda persegi
itu lagi, dan melihat kembang api lagi, dan lagi. Ah, betapa banyaknya program
yang disediakan, dan penonton tinggal memilih saja mana yang sesuai.
Kukatakan, kebahagiaan
itu sederhana. Sesederhananya keluarga kami. Dan, aku rindu itu semua! Apakah
hanya aku saja yang merindukan hal itu sekarang? Katakan padaku, Tuhan.
“Selamat ulang tahun!”
kataku seraya menjabat tangannya yang lebih kecil dariku.
“Makasih, teteh.”
Tidur. Kembali
bermimpi. Namun ada yang mengganjal setelah ucapan itu. Tidakkah aku memberinya
sesuatu? Teteh macam apa aku ini?
Berkali-kali kupejamkan mata. Berkali-kali kutahu dia menelan pahit kekecewaan.
Saudaraku, kautahu tentang kita, kautahu tentangku, kautahu semuanya yang ada
di rumah kita, cukup kautahu. Lalu, tunggulah aku memberimu sesuatu yang
terbaik dan terindah dari apa yang kaubayangkan. Harapan, doa, kata-kata indah
yang perlu kaugenggam. Hanya itu. Kuharap kau tidak merutukiku.
Belum senja, tetapi
hujan terus mengguyur kota Jogja. Aku masih terjebak bersama kedua temanku. Di
lobi kampus setelah mata kuliah Reading
and Writing. Sebut saja mereka Minion.
Kami membicarakan perkuliahan tadi. Tentang dosen yang kecewa kepada kita,
tentang diam, tentang metode pembelajaran, tentang teman-teman, tentang kakakku
yang sedang jatuh cinta, dan pastinya tentang bahagianya aku hari itu. Hari
terakhir di tahun 2013. Kautahu crush?
Ya, dia my crush, dia membuatku terus
tersenyum. Terus tersenyum sampai kakiku takbisa diam, seperti apa yang
dilakukan kakakku. Cacing kepanasan! Momen
sederhana, sih. Tapi kauharus tahu,
sesederhananya momen itu, sehebatnya hati bergemuruh. Well, kadang aku berlebihan mengungkapkan ini, tapi beginilah orang
yang sedang jatuh cinta. Jatuh cinta? Kagum
mungkin. Karena sesungguhnya aku tidak tahu apakah aku suka atau sebatas kagum.
Lupakan tentang Fasol, my crush.
“Keluar, yuk!” ajak salah satu Minion.
“Gak, males, mending ke
tempat Bunda, mau?” tanpa menunggu
aba-aba, aku langsung menyuruhnya berkata iya.
Dan singkatnya,
kami—aku dan salah satu Minion—pergi ke kost Bunda, temanku sekelas. Kami memang memanggilnya dengan sebutan “Bunda” karena dia memanggil kami dengan
sebutan “nduk”. Apalah itu.
Tidak ada yang spesial
di sini. Kami hanya mengagetkan Bunda di depan pintu. Lalu mencari makan.
Itupun lamanya hampir setengah jam. Dan masih diguyur hujan gerimis di luar.
Tetap sama, dengan Minion yang tak henti-hentinya merengek kelaparan. Dasar perut karet! Aku tertawa. Menepis
bayangan tentang kerinduan yang mulai lagi mengejekku. Kautahu, bersama
temanlah aku bisa menghindar dari masalah. Terlebih bila bersama kakakku.
Teman-teman dan khususnya kakakku, merekalah pengganti bahagiaku. Sungguh. Dan
oleh sebab itu aku selalu berdoa kepada Tuhan untuk menjadikan mereka terus
teman, lebih dari sekadar teman, tetapi sahabat.
Gelak tawa telah kami
buat. Aku sampai tidak bisa berhenti tertawa karena mereka terus melakukan hal
konyol. Kautahu, kami mengerjai seseorang. Oh
Tuhan, mereka ini bicara apa, sih. Lewat akun facebook milik Minion, Bunda memulai percakapan dengan teman kami
sekelas, mengatainya yang tidak-tidak, seolah-olah akunnya terbajak, dan
begitulah. Bukan masalah bagiku karena itu bukan akun milikku, tapi pada
akhirnya aku kena juga. Haha.
Sejujurnya, apa yang
kami lakukan hanyalah sebatas bermain. Seperti hari-hari biasa. Seperti yang
kubilang tadi, tak ada yang spesial. Namun yang kudapatkan di sana adalah rasa
bahagia yang bercampur dengan kebersamaan. Akrab. Kita seperti tengah kumpul di
ruang keluarga yang sedang kami rindukan momen seperti itu. Ya, begitulah.
Waktu tepat menunjukkan
pukul 10.10 malam. Mulai lagi dengan kesendirianku. Kumulai lagi dengan
mendengarkan irama setiap huruf yang muncul di screen. Dan tak kurasa, tanpa ada tema, jemariku dengan tidak
sabaran ingin menari di atas keyboard. Seringkali
bosan, tapi apa yang dapat aku lakukan? Ya, pertanyaan itu tetap muncul saat
itu.
Kucek daftar event yang akan kuikuti. Lagi-lagi aku
malas mengerjakannya. Tidak ada ide. Yang ingin aku tulis adalah mengenai saat
ini. Bukan dalam tema itu. Aku ingin menulis bebas. Mengikuti rangkaian cerita
yang dapat kubagi hari ini. Tidak untuk orang lain, tapi untukku sendiri. Dan
selalu ada damai. Ada tawa dalam setiap malam. Coba tebak, apa yang aku
dapatkan? Ah, ini bukan apa-apa, sih.
Hanya balasan cerita dari kakakku. Yang membuatku tertawa hanya kesan pertama
dia tentangku. Oh ternyata seperti itu kah diriku di mata orang lain. Ya, boleh
jadi aku bangga, boleh jadi aku menciut. Hanya saja, lucu. Aku tak perlu
menyebutkan siapa kakakku, kan.
Teman-teman sekelasku tahu, kok.
Hal lain yang kurasakan
adalah keheningan. Selepas tawa itu mengantarku ke tempat di mana dia selalu
membawaku untuk tersenyum, saat itulah sebuah rindu menjemputku. Menenggelamkan
setiap pandangan yang berisi kepingan memori. Membiarkanku memandang lurus,
kosong seperti tanpa bayangan. Masih teringat layar-layar dalam film kehidupan
berlarian kemari, memburu ingatanku, agar aku lemah dan tak dapat berkutik.
Agar aku siap memenuhi ajakan malam untuk singgah dalam damainya. Tidak, aku
harus bangkit. Tak kubiarkan lagi ajakan-ajakan payah yang menguburkan
semangatnya hidup di kota orang. Takkan kubiarkan senyumku mengkerut. Dan aku
akan mengingat apa kata kakakku, “The
best thing of you is your smile, so keep smile, ya.” It makes me better, but
for now, it couldn’t.
Kulirik jam di layar
ponselku. Memang bukan seperti biasanya. Jika setiap malam tak pernah ada suara
keramaian di sekitarku, tak ada suara canda dan tawa, selalu sepi, tidak ada
dentuman motor yang lalu lalang, tapi kali ini aku mendengarnya. Berkali-kali
aku merasakan atmosfer kebahagiaan mereka yang sedang menunggu tengah malam.
Dan kali ini malam sukses membuatku berlinang air mata, yang awalnya aku sudah
menahan segalanya yang akan membuatku seperti itu. Aku tahu aku memang goyah
mengingat ini, bukan tentang mereka yang di sana. Bukan bapakku, bukan adikku,
bukan simbah, bukan yang ada di
rumahku. Bukan itu. Tapi dia, wanitaku yang jauh di sana. Selalu satu
pertanyaan yang bersarang, “kapan kau
pulang melihat anakmu ini?”
Sudah
berapa tahun baru yang engkau lewati di sana?
Jangan pernah biarkan
aku terus mengingat pertanyaan bodoh yang tiap malam selalu saja merayap.
Lembaran baru ini seharusnya menjadi awal aku membuktikan padanya bahwa aku
bukan lagi anaknya yang dulu sekali—ketika masih kelas tiga Sekolah
Dasar—menangis karena kepergiannya, bukan lagi anaknya yang dulu enggan belajar
bahasa Inggris, bukan lagi anak manja yang minta ini itu, bukan lagi aku yang
sembunyi di balik rasa takut, dan bukan lagi aku yang terakhir kali engkau
melihatku secara langsung. Aku kini, lihatlah aku di kota orang ini. Lihatlah aku
bila aku masih benar di matamu, peristiwa, takdir, telah mengajarkanku untuk
kuat. Mengerti bagaimana Tuhan telah memberi keluarga yang sederhana ini.
Takkan pernah aku memaksakan keadaan. Jika kau tahu apa yang sebenarnya ada di
dalam hatiku yang paling dalam, aku tidak membutuhkan hartamu, aku hanya ingin
kasih sayangmu, aku ingin rangkulanmu di setiap pagi, aku ingin sungkem di setiap hari raya besar kita,
aku ingin segalanya tentangmu.
Kapan?
Kuhentikan segukan
kasar yang menjelma menjadi tangisan. Aku bertekad untuk takkan larut dalam
kesedihan karena Tuhan membenci itu. Namun, bagaimana bila kerinduan dalam
sunyi tiba-tiba memelukku?
Kumulai lagi berpikir.
Satu. Dua. Tiga. “Apa yang akan
kaulakukan di tahun 2014?”
Alright,
I wanna make a list. Dream. See tomorrow will come better with a new day, new
year. 2014.
Paginya, ketika sang
fajar shoddiq menyapa, “makasih
kadonya bagus.”
Aku tahu dia bahagia di
hari spesialnya. Dan untuk pertama kalinya aku melakukan hal ini. Walau hanya
candaan awalnya, kuharap dia mengerti bahwa ini sebagian dari kejailanku. Ya,
tak bisa dipungkiri, hubungan kakak-adik memang perlu warna yang berbeda. Hanya
inilah yang dapat aku katakan, “buat mereka tersenyum bangga karenamu, itu
lebih dari ucapan terima kasih. Miss you,
always.”
Sungguh. Aku tidak bisa
mengakhiri cerita ini dengan sangat apik. Aku tidak pandai membuat ending. Yang pastinya tahun baru ini
adalah yang berbeda. There are new
spirit, passion, and target. Catatan hidupku akan bertambah di sini, di
Jogja, tempat kumeraih mimpi, tempat kumencari kehidupan yang lebih baik,
teruntuk mereka yang mempercayakanku.
0 comments:
Post a Comment