Ini juga re-post :)
Kepada
adikku yang sedang terlelap dalam dongeng malamnya, yang sedang memeluk boneka
beruangnya, kukatakan bahwa kau masih mempunyai pundakku. Mintalah aku untuk
sedia memberikannya untukmu, dan menangislah semaumu. Berceritalah kepadaku.
Aku rela tangismu memecahkan kesunyian, malam yang sangat berarti, yang kutahu
kau merindukan semua ini, dan kau hanya menyembunyikan air matamu di balik
dekapan
boneka lusuhmu. Kini, aku tak meninggalkanmu, adikku, aku sedang mencari di mana titik kedamaian yang kurasa sangat sulit aku menemukannya. Aku hanya membiarkanmu terus terjaga, berjumpa dengan peri mimpimu, kemudian bangun dengan wajah ceriamu, wahai adikku yang merindukan pelukan hangat bidadari, bidadari dalam keluargaku, Ibu. “Dia akan kembali,” bisikku.
boneka lusuhmu. Kini, aku tak meninggalkanmu, adikku, aku sedang mencari di mana titik kedamaian yang kurasa sangat sulit aku menemukannya. Aku hanya membiarkanmu terus terjaga, berjumpa dengan peri mimpimu, kemudian bangun dengan wajah ceriamu, wahai adikku yang merindukan pelukan hangat bidadari, bidadari dalam keluargaku, Ibu. “Dia akan kembali,” bisikku.
Di
bawah langit malam, dialah malam, yang sedang mengingatkanku tentang mimpi yang
masih indah dalam ruang masa lalu, saat tangan kanannya masih mengelus rambutku
tiada henti, dan aku terlelap dalam pelukannya. Aku masih mengingatnya, dan kau
pasti mengingatnya, adikku. Ketika dengan manja kau meminta sesuap makanan yang
Ibu buat, dia menyuapimu dengan tangannya, yang kini bahkan belum tersentuh
lagi lembut telapaknya. Lagi, kau bergelayut manja di pundaknya, bercerita apa
saja, dan yang pasti dia selalu mendengarkanmu tanpa disela sedikitpun. Apa
lagi? Semua helai-helai kenangan darinya masih tertata dalam memori, bahkan
jika kau menyuruhku untuk mengurutkan, akulah orang pertama yang mengingat
segala hal tentang dia. Dia, Ibuku. Ibumu, adikku. Walaupun dia pergi entah di
mana dan mengapa dia pergi, dia tetap bidadari kami.
Kuseret
kaki ini ke sebuah meja di mana puluhan gambar berserakan. Ya, terasa berat,
namun foto ini sudah di hadapan mata. Hangat, penuh kasih sayang. Kutolehkan kepala.
Seorang gadis masih mendekap mainannya. “Ibu,” masih kuberbisik, tepat di depan
bingkai foto yang bersandar tanpa penyangga. Kugenggam erat benda persegi
panjang hangat ini, kudekapkan ke dadaku, seakan aku tengah mendekapmu, dan tak
kubiarkan sedikitpun angin menerobos pelukan kami, Ibu. Erat, begitu erat. Aku
berbisik lagi, “Ibu, ini pelukan rindu dari kami, anakmu.” Hanya sepenggal
kalimat itu yang mampu kuucapkan, tepatnya kubisikkan.
Masih
dengan malam, teringat begitu banyak hal yang telah Ibu lakukan untuk kami. Di
malam-malamlah aku menyadarinya. Di malam-malamlah aku meminta doa pada-Nya. “Allah, ijinkanlah aku, bahagiakan dia.
Meski dia telah jauh, biarkanlah aku berarti untuk dirinya.” Aku bernyanyi
pelan lagu dari Opick, sembari berdoa untuknya.
“Kau
sedang apa, teh?” gadis kecilku
mencapai pundakku. Rupanya, dia terbangun karena suaraku. Kugapai tangannya,
kusentuh lembut jemarinya.
“Tidak,
aku hanya ingat tentang Ibu. Kau juga?” sahutku menatap bola matanya.
“Ya,
tentu. Besok bukannya hari Ibu, bukan?” tanyanya antusias. Kujawab lebih
antusias lagi daripada dia. “Jadi, apa yang akan kita berikan?,” tanyaku sambil
melirik boneka yang ada di tangannya.
“Doa
seorang anak yang mencintai ibunya akan selalu sampai padanya, teh. Kapanpun dan di manapun,” ucapnya
seperti menasihatiku. Aku mengerti akan maksudnya. Baiklah, dia memang selalu
membuatku tak bisa berkata apa-apa lagi. Wajahnya membuatku berhenti berpikir,
aku hanya tak tega.
Buru-buru
kutelaah bahasanya, kukerutkan dahi karena aku belum mengerti maksudnya. Kurasa
genggaman erat tangannya membawaku ke arah di mana sajadah panjang biasa berada
di situ. Ya, aku mengerti. Dia mengajakku menikmati malam untuk berserah diri,
bersujud pada-Nya, memohonkan ampun untuk bidadari kami, dan segalanya. Tanpa
menunggu salah satu dari kami terhanyut dalam malam, segera kulangkahkan kaki
ke hadapan-Nya. “Kami berdosa, Allah.
Terimalah sujud kami. Ampunkanlah Ibu, bidadari kami.”
Kami
terkikik membelah kesunyian. Kami sadar sepertiga malam telah dilewati. Hari
inilah bidadari kami bersahaja. Kami hanya ingin mengatakan, “di manapun kau
berada, Ibu, engkau tetap bidadari kami. Terimalah pelukan rindu kami. Kami
sangat merindukanmu, maka kembalilah.” Selamat Hari Ibu, kami mencintaimu.
0 comments:
Post a Comment